TIDAK hanya sekadar sebagai dosen dan peneliti bidang ilmu linguistik di
Unhas. Barbara Friberg kini punya andil besar memelihara dan
melestarikan bahasa-bahasa lokal yang ada di Sulsel.
MESKI berdarah Amerika, kepeduliannya terhadap bahasa daerah Sulsel
begitu besar. Seabrek temuan dari penelitian serta karya besar lainnya
telah dipersembahkan Barbara. Temuan dari hasil penelitian tersebut
sangat berguna untuk kelanjutan bahasa daerah Sulsel.
Bidang ilmu yang digelutinya sebagai seorang dosen dan peneliti
linguistik membuatnya merasa wajib untuk turut serta menjaga dan
melestarikan bahasa daerah di Sulsel.
Saat penulis menyambangi kediaman di Jalan Mallengkeri 1 Perumahan
Pesona Adenium No.25, perempuan paruh baya ini menyambut dengan banyak
senyum.
Istri Timothy Friberg membuka pembicaraan dengan santai.
Pertama kali ke di Indonesia pada sekitar tahun 1983. Saat itu saya
belajar bahasa Indonesia di Bandung. Saya akhirnya memutuskan ke
Makassar sekitar tahun 1985 untuk memperdalam bahasa lokal," kisahnya
dengan bahasa Indonesia yang fasih.
Saat itu, dia dan suaminya yang berkebangsaan Kanada hendak meneliti
bahasa-bahasa ibu yang ada di Indonesia. "Sebenarnya saya hanya membantu
suami saya dan ternyata saya juga tertarik meneliti bahasa-bahasa
daerah yang ada di Sulsel," katanya.
Bersama sang suami dan para peneliti bahasa di Sulsel lainnya, Barbara
pun melakukan survei lebih dari 100 kecamatan yang ada di Sulsel. "Saat
itu, Sulsel belum dimekarkan. Kami berkeliling Sulsel meneliti bahasa
daerah yang masih digunakan masyarakat," bebernya.
Bahkan, lanjut Barbara, mereka mendaki gunung perbukitan dan berbagai
suasana dan kondisi iklim di sejumlah wilayah Sulsel. Mereka ke Toraja,
Luwu, Pinrang, dan sejumlah kabupaten/kota di Sulsel demi meneliti
bahasa daerah.
"Sebelum dimekarkan, Sulsel memiliki sekitar 42 bahasa ibu. Bahasa
Makassar saja ada lima jenis dialek yang kami temukan. Sulawesi secara
keseluruhan jumlah bahasa daerah yang kami data mencapai 110. Sejumlah
bahasa itu saling berkaitan," ungkapnya.
Perihal font lontara yang dibuatnya, perempuan kelahiran USA, Januari
1945 ini mengaku tidak sendirian. "Sebenarnya, itu bukan buatan saya.
Saya hanya menyimpannya dalam bentuk soft file ke komputer. Saya sama
sekali tidak tahu makna atau pun sebutannya waktu itu," beber Magister
Lingusitics, USA ini.
Font lontara tersebut, sambungnya, sebenarnya ada orang lain yang
membuatnya. Mereka adalah Mallarangeng dan Jirong Bassang. "Namun waktu
itu belum sempurna. Kami kemudian menyempurnakannya dan saya
memasukkannya dalam bentuk file komputer," ujar pensiunan yang juga
menyelesaikan gelar Magister Computer Scince di USA ini.
Menurut Barbara, tulisan lontara merupakan jati diri suatu suku bangsa,
dalam hal ini suku Bugis-Makassar. "Ini merupakan jati diri. Tapi,
anak-anak sekarang banyak yang tidak lagi memahami lontara. Agar tidak
punah memang harus ada tulisan yang mengabadikannya," imbuh dia.
Bungsu dari empat bersaudara ini mengaku salut dengan semangat warga
Sulsel yang ingin melestarikan bahasa daerahnya. Hanya saja, kata dia,
tidak perlu sampai menghabiskan dana banyak. "Melestarikan bahasa daerah
itu dari diri dan keluarga. Bahasa daerah tidak harus jadi bahasa wajib
tapi cukup melestarikannya dalam keluarga. Termasuk di sekolah-sekolah
memang perlu diajarkan agar tidak punah. Karena sudah banyak anak muda
yang tidak lagi paham dengan tulisan lontara. Seperti kamu kan?"
ujarnya, berkelakar kepada penulis.
Barbara mengaku bersyukur bisa berada di Indonesia dan bisa membantu
melestarikan bahasa daerah. "Sebenarnya, ini hanya tugas saya sebagai
peneliti bahasa. Tuhan telah memberi banyak hal buat saya dan suami.
Saya sangat bersyukur untuk itu," tandasnya.
Dia menilai warga Sulsel pada hakekatnya semuanya sangat ramah dan
memiliki ciri khas sebagai orang tegas. "Meski ada juga sebagian yang
cukup kasar, seperti para pengendara yang selalu membunyikan klakson dan
tampak tidak sabaran. Tapi saya selalu salut, karena mayoritas warga
Sulsel memang orang yang ramah dan mudah akrab," sebut Barbara.
Barbara menyampaikan pesan kepada penulis dan anak muda Sulsel agar
senantiasa mendekatkan diri dan hati kepada Allah Ta'ala. "Jika hati
kita dekat pada Allah, pasti kita akan merasa tenang dan tidak selalu
sabar. Meski dia rajin salat tapi hatinya tidak condong kepada Allah,
dia aka mudah terperosok. Seperti halnya orang yang tidak sabaran di
jalan raya, jika hatinya dekat pada Allah pasti dia akan bersabar dan
tidak memekakkan telinga pengendara lainnya dengan suara klakson,"
imbuhnya.
Barbara juga menyampaikan tidak sepakat dengan beberapa kebijakan perang
yang pernah dilakukan pemerintahnya kepada sejumlah negeri beberapa
tahun lalu. "Meski demikian, itu tidak mewakili orang-orang Amerika.
Jangan karena kebijakan satu pihak, lantas seluruh warga Amerika
dianggap sama. Malah, mayoritas warga Amerika sangat tidak sepakat
dengan kebijakan pemerintah memerangi sejumlah negeri. Saya termasuk
orang yang sangat menyesalkan apa yang terjadi di Irak dan Afganistan.
Demikian pula penistaan agama tertentu," tandasnya.
Dia juga sangat paham beberapa pepatah daerah seperti "Taro Ada' Taro
Gau". Pepatah kuno ini kata dia simbol semangat. Artinya "Lakukan hal
baik-baik sesuai apa yang diucapkan, bukan sekedar berteriak," imbuh
dia.
Source:
http://www.fajar.co.id/read-20121020185240-pencipta-huruf-lontara-digital
Tidak ada komentar:
Posting Komentar