DASAR PEMIKIRAN
Di saat kita membaca torehan lintasan sejarah,
maka Kerajaan Luwu merupakan kerajaan yang dituakan di antara tiga Kerajaan
Utama di Sulawesi Selatan yaitu Kerajaan Luwu, Kerajaan Gowa dan Kerajaan Bone.
Ketiga Kerajaan tersebut lebih dikenal dengan sebutan TellumpoccoE.
Kerajaan Luwu terdiri dari Dua Belas Anak Suku (
Sub Ethical Groups ) yang masing masing memiliki dialek bahasa yang berbeda
serta tarian adat tradisional yang beraneka ragam pula. Kedua belas anak suku
itu antara lain : To Ugi (Bugis), To Ware, To Ala , To Raja, To Rongkong, To
Pamona, To Limolang, To Seko, To Wotu, To Padoe, To Bajo, To Mengkoka.
Kerajaan Luwu dipimpin oleh seorang Raja / Ratu
yang disebut Datu Luwu Kerajaan Luwu masa lalu meliputi wilayah yang begitu luas
dan subur. Wilayah tersebut pada saat ini meliputi Wilayah yang begitu luas dan
subur. Wilayah tersebut telah menjadi tiga Provinsi yaitu Provinsi Sulawesi
Selatan, Sulawesi Tenggara dan Sulawesi Tengah. Dengan Wilayah Kabupaten/Kota
seperti : Kabupaten Luwu, Kabupaten Luwu Utara, Kota Palopo, Kabupaten Luwu
Timur, Kabupaten Kolaka, Kabupaten Kolaka Utara, Kabupaten Konawe, Kabupaten
Konawe Utara, Kabupaten Toraja, Kabupaten Toraja Utara, Kabupaten Poso, serta
Kabupaten Morowali. Walau berbeda administrasi pemerintahan, terdiri atas dua
belas anak suku dengan keragaman seni tari tradisionalnya namun tetap satu
dalam bingkai “Maseddi Siri” atau kemanunggalan (Unity & Difersity).
Melalui kegiatan “Festival I La Galigo 2012”
maka seluruh Kejayaan, Semangat Persatuan dan Kesatuan serta Persaudaraan
itu akan kita wujudkan kembali untuk bersama-sama membangun kekuatan negeri
serta menjadi pondasi kokohnya Negara Kesatuan Republik Indonesia dalam tatanan
karakter dan budaya bangsa yang telah menjadi salah satu kekuatan budaya dunia.
Mitologi
Muasal Manusia dan Kejadian Manusia (I La Galigo)
Ada
tujuh versi mitos yang dikenal oleh masayarakat Bugis tentang kejadian awal
semesta dan muasal manusia.
Ketujuh versi tersebut rupanya saling
melengkapi. Ada yang memulai dengan penciptaan dunia antara, ada kisah
pertikaian mentari dan rembulan yang berakhir dengan paduan harmonis diantara
mereka. Ada yang mengaitkannya dengan mitos Dewi Padi Sanggiaserri, ada yang
menghubungkannya dengan kisah Adam dan Hawa, dan ada pula yang mengombinasikan
versi-versi tersebut. Saat ini, jika orang membicarakan kosmologi Bugis, hal
itu selalu dikaitkan dengan kisah epikomitis I La Galigo atau Surek Galigo yang
melukiskan antara lain tentang awal mula ditempatinya negeri Luwu yang
dipandang sebagai negeri Bugis tertua tentang adanya yang disebut dunia atas
(botinglangik), dunia bawah (burikliung) dan dunia tengah (negeri Luwuk).
Pasangan-pasangan yang kawin dengan corak perkawinan endogami, sedangkan ketika terjadi perkawian antar kelompok maka coraknya adalah eksogam. Tokoh sentral di dalamnya adalah Sawergading yang semula hendak mengawini saudara perempuannya (sumbang kadim), tapi karena dicegah, akhirnya memindahkan perasaan cintanya yang meluap-luap itu kepada seorang gadis China yang bernama We Cudai. Priode ini juga (I La Galigo) selalu disebut sebagai periode Mula Tau, periode kejadian manusia pertama yang diturunkan dari langit lewat pelangi, dan ditetaskan lewat sebatang bambu betung. Sangatlah aneh menjumpai ketidakhadiran kosmogoni dalam cerita I La Galigo seperti yang telah dikenal sekarang. Istilah kosmogoni dipakai di sini sebagai pengertian terbatas, karena meskipun kehadiran para Tomanurung pertama (manusia yang turun dari langit) dan Totommpok (manusia yang muncul dari bawa) yang dapat pula ditafsirkan secara kosmologis, tetapi itu hanya sekadar berarti dunia 'perantara' yakni dunia ummat manusia. Mitos tersebut masuk dinamakan penciptaan semesta dan dunia yang meliputi tentang fenomena kosmik, gempa, cuaca (bulan pakai payung, binatang dan peternakan, penangkapan ikan dan berburu dan tanaman-tanaman pertanian.
Pasangan-pasangan yang kawin dengan corak perkawinan endogami, sedangkan ketika terjadi perkawian antar kelompok maka coraknya adalah eksogam. Tokoh sentral di dalamnya adalah Sawergading yang semula hendak mengawini saudara perempuannya (sumbang kadim), tapi karena dicegah, akhirnya memindahkan perasaan cintanya yang meluap-luap itu kepada seorang gadis China yang bernama We Cudai. Priode ini juga (I La Galigo) selalu disebut sebagai periode Mula Tau, periode kejadian manusia pertama yang diturunkan dari langit lewat pelangi, dan ditetaskan lewat sebatang bambu betung. Sangatlah aneh menjumpai ketidakhadiran kosmogoni dalam cerita I La Galigo seperti yang telah dikenal sekarang. Istilah kosmogoni dipakai di sini sebagai pengertian terbatas, karena meskipun kehadiran para Tomanurung pertama (manusia yang turun dari langit) dan Totommpok (manusia yang muncul dari bawa) yang dapat pula ditafsirkan secara kosmologis, tetapi itu hanya sekadar berarti dunia 'perantara' yakni dunia ummat manusia. Mitos tersebut masuk dinamakan penciptaan semesta dan dunia yang meliputi tentang fenomena kosmik, gempa, cuaca (bulan pakai payung, binatang dan peternakan, penangkapan ikan dan berburu dan tanaman-tanaman pertanian.
Mencari
Jejak La Galigo
La Galigo adalah sebuah karya sastra yang terbentang sepanjang zaman.
Epos yang panjangnya melebihi Mahabharata ini berisi kisah di abad lalu, yang
sempat menjadi kepercayaan di antara masyarakat Bugis di Sulawesi Selatan.
Sayangnya, gerakan pemurnian ajaran agama,
prasangka dan pula modernisasi telah bersekutu menggempur “kesaktian” warisan
budaya ini. Akibatnya, karya sastra ini kini hanya dikenal di kalangan
akademisi. Padahal, La Galigo memiliki kekuatan yang mengejutkan. Sebuah hajat
besar bulan Maret lalu digelar di Kabupaten Barru untuk menghidupkan kembali
roh Sureq Galigo. Ikuti laporan wartawan TEMPO Yusi A. Pareanom langsung dari
Bumi Celebes untuk menjejaki keajaiban Sawerigading.
La Galigo
Syahdan, pada abad ke-15, dunia telah
mengenal La Galigo. Bahkan 300 ribu larik epik itu konon sudah lahir ketika
abad Masehi baru mencium bumi. Sungguh tua, sungguh panjang usia kisah yang
pernah menjadi bagian dalam kehidupan suku Bugis ini. Inilah epos yang konon
terpanjang di seluruh dunia. Jumlah ini jauh lebih gemuk ketimbang
epos agung Mahabharata, yang terdiri dari
150 ribu-200 ribu baris, atau Iliad dan Odyssey yang “hanya” terdiri dari 16
ribu baris. Karena itulah, bulan Maret silam, puluhan peneliti dan pakar
internasional bertemu di Barru, Sulawesi Selatan, untuk mendiskusikan karya
sastra mahapanjang yang istimewa ini.
Di Barru, tempat waktu berjalan merayap,
Sureq Galigo diperkenalkan kembali pada publik. Istilah pengenalan kembali
memang ironis. Sureq Galigo yang usianya sudah berabad-abad itu di masa lalu
adalah bagian tak terpisahkan dalam kehidupan rakyat Sulawesi Selatan,
khususnya suku Bugis. Namun, fakta di lapangan, karya sastra ini sudah mulai
dilupakan.
Maka, selama Festival La Galigo itu, Desa
Pancana sejenak berubah wajah. Desa yang terletak di pinggir pantai Kabupaten
Barru, Sulawesi Selatan, yang biasa disiram aroma amis ikan laut, pada Maret
silam dikunjungi ribuan orang dari berbagai kawasan yang memenuhi lorong-lorong
kampung. Jalan masuk yang membelah tambak di desa itu malah macet gara-gara
banyaknya mobil yang parkir. Hiburan macam ini memang jarang ditemui.
Tapi tidak semuanya senang dengan
hiruk-pikuk ini. Hajjah Siti Ara, 42 tahun, pedagang obat di Pasar Sentral
Barru, terang-terangan mengaku kecewa. Ia datang ke festival dengan harapan
bisa menyimak Masureq, pembacaan La Galigo atau Sureq Galigo (penamaan ini
untuk membedakan dengan nama tokoh I La Galigo) yang khidmat da menghanyutkan.
Harapannya meleset karena situasi festival mirip pasar malam yang sesak dengan
pedagang. Siti, yang semasa sekolah menengah pernah main drama dengan tema La
Galigo, juga menyesalkan banyaknya atraksi kesenian yang tak ada hubungan
dengan tema festival.
Jadi, apa sesungguhnya yang membuat La
Galigo begitu istimewa? Dan, bagaimana karya itu bisa sedemikian panjang? Ia
membentangkan dongeng tentang tujuh generasi. Ini berbeda dengan cerita rakyat
dari daerah lain di Indonesia, yang umumnya berbentuk banjaran (kisah satu
tokoh dari lahir sampai meninggal). Cerita kolosal ini juga terlihat dengan
1.000 tokoh penting yang menghuni episode-episodenya. Christian Pelras, ilmuwan
asal Prancis, sempat membuat 672 kartu nama tokoh-tokoh Sureq Galigo.
Tentu, bukan ini saja yang menjadikan Galigo
unik. Campbell Macknight, guru besar emeritus antropologi di Universitas
Nasional Australia di Canberra, menyebut Galigo adalah pencapaian kultural yang
signifikan. Faktanya, materi teks Galigo paling banyak dielaborasi dalam
pelbagai versi dalam bahasa Bugis.
La Galigo menyebar dengan dua cara: tradisi
lisan dan tulis. Tradisi pertama dikenal oleh hampir semua etnik di Sulawesi,
bahkan sebagian Kalimantan dan Semenanjung Melayu. Adapun yang kedua praktis
hanya dilakukan oleh masyarakat Bugis. Sebagai satu karya, La Galigo punya
konvensi bahasa (yaitu bahasa Galigo yang untuk mudahnya bisa disebut juga
bahasa Bugis Kuno), sastra, metrum (guru lagu dan guru wilangan), dan alur.
Misalnya, satu bait pasti terdiri dari lima baris dan nama tokohnya pasti
terdiri dari lima suku kata: Sawerigading, I La Galigo, I We Cudaiq, dan
seterusnya.
Galigo diperkirakan lahir pada abad-abad
awal Masehi. Sampai abad ke-15, penyebarannya masih lisan, dengan bahasa yang
masuk rumpun Austronesia (yang digunakan hingga Kepulauan Fiji). Bukti yang
mendukung adalah kemiripan sistem hierarki sosial yang digunakan etnik-etnik
Pasifik yang masuk rumpun ini. Tradisi tulis diduga baru dimulai pada abad
ke-15. Sejak naskah ini didokumentasi, Galigo sudah mengembara ke negara-negara
jauh, terutama Belanda. Yang masuk sampai ke perpustakaan negara Amerika
Serikat di Washington, DC, pada abad ke-19 adalah buah tangan Husin bin Ismail,
seorang munsyi Bugis kelahiran Wajo yang tinggal di Singapura.
Struktur Galigo bisa dibagi dalam dua bagian
besar, kisah awal yang bersifat kosmologi yang menceritakan asal-usul kehadiran
manusia di bumi. Bagian kedua yang menceritakan sistem status yang sangat
penting sebagai pegangan dalam kehidupan sosial Bugis. Menurut Fachruddin Ambo
Enre, guru besar sastra di Universitas Negeri Makassar, bagian yang
menceritakan manusia pertama alias nenek moyang raja-raja Bugis, terutama orang
Luwu, dianggap sakral. Naskah ini tidak boleh dibaca sembarangan. Bahkan judul
sureq ini sengaja menggunakan nama Galigo, bukannya Sawerigading. Padahal
Sawerigading adalah peran utama. Namun, alasan tak menggunakan nama
Sawerigading sebagai judul karena nama itu tak boleh diucapkan sembarangan.
Bagian penciptaan alam semesta malah
didudukkan lebih wingit lagi sehingga betul-betul dirahasiakan untuk kalangan
terbatas. Tak semua bangsawan Bugis yang masih menyimpan naskah periode ini
sudi membagi pengetahuannya pada orang lain. Colliq Pujié Arung Pancana Toa,
perempuan bangsawan Bugis yang menghimpun kisah Galigo untuk peneliti Belanda
Dr. B.F. Mathhes pada 1852, misalnya, memulai penulisan lontaraq dengan adegan
musyawarah para dewa untuk menurunkan Batara Guru sebagai cikal bakal manusia
di bumi.
Alhasil, siklus kisah Galigo sebelum manusia
lahir–yang dianggap sebagai periode “keramat”–masih diketahui sekelumit belaka.
Salah satunya adalah naskah Mula rilingé Sangiang Serrí (Mulai Diciptakannya
Sangiang Serrí). Naskah ini diperoleh Christian Pelras, peneliti dari Prancis,
dari seorang bangsawan Bugis. Naskah ini bercerita tentang Wé Oddang Nriwú,
anak bungsu pasangan Dewa Langit Datu Patotoe dan Datu Palinge. Wé Oddang, adik
Batara Guru, dikisahkan memiliki kecantikan yang sanggup membuat para lelaki
yang melihatnya gila (kecantikan perempuan macam ini sepertinya mirip Remedios
The Beauty, tokoh dalam novel One Hundred Years of Solitude karya
Gabriel Garcia Marquez). Agar tidak menimbulkan malapetaka di mana-mana, Wé
Oddang akhirnya diubah bentuknya menjadi tanaman padi dengan nama baru Sangiang
Serrí. Dengan begini, ia tetap dicintai banyak orang dan sekaligus tak
mengundang marabahaya. Cerita Sangiang Serrí inilah yang melahirkan tradisi
upacara persembahan para petani sebelum memulai musim tanam.
Bagian utama dari La Galigo tak lain adalah
kehidupan Sawerigading. Cerita cucu Batara Guru ini sedemikian memikat,
sehingga rakyat Sulawesi Selatan menganggap sosok ini nyata. Artinya, Galigo
diperlakukan sebagai sumber sejarah untuk periode zaman tembaga-besi akhir
(prasejarah). Bisakah? Ian Caldwell, dosen sejarah di Universitas Hull,
Inggris, yang melakukan penelitian arkeologis sealama tiga tahun di Luwu dan
sekitarnya, menampiknya. Alasannya, anakronisme (penempatan kejadian pada waktu
yang salah) yang bertaburan di dalam naskah La Galigo. Misalnya, gambaran
Kerajaan Luwu dan Cina raja adalah cerminan keadaan politik dan demografis pada
abad ke-15 sampai 17. Padahal, dari pemakaian bahasa Galigo yang arkaik (tidak
lazim dipakai), terlihat bahwa Galigo lahir pada masa yang jauh lebih kuno.
Kisah pengembaraan Sawerigading dengan kapal
La Welérénngé ke pelbagai negeri jauh, bila dilihat dengan kacamata ilmu
pelayaran yang sebenarnya, terlihat ganjil. Waktu tempuh untuk daerah yang
secara geografis sangat dekat bisa memakan waktu berbulan-bulan, sedangkan
untuk daerah yang lebih jauh malah ditempuh dengan waktu singkat saja. Karena
itu, Horst H. Liebner, ilmuwan asal Jerman yang bertahun-tahun mempelajari
seluk-beluk perahu tradisional Sulawesi Selatan, menilai bahwa perjalanan
Sawerigading adalah perjalanan mimpi. Alhasil, toponomi sebagian Nusantara
menurut Galigo—dengan Luwu sebagai “pusat dunia”–menurut Liebner tak lebih dari
upaya mengagung-agungkan kejayaan Bugis tanpa melihat kenyataan dunia riil.
“Kaum ningrat Bugis masa itu ingin dielu-elukan sebagai penguasa jagat raya,”
kata Liebner.
Menilik bertaburnya “kesembronoan” data
tersebut, diduga perawi Galigo adalah para perempuan bangsawan Bugis yang tak
akrab dengan dunia pelayaran ataupun geografi. Indikasi yang menunjukkan
identitas pengarang adalah penggambaran pernik upacara serta aktivitas bissu
yang demikian detail. Hal ini lebih banyak diketahui golongan wanita ningrat.
Genangan fantasi dalam Galigo memang jadi
mencemaskan bila naskah tersebut dipakai sebagai rujukan sejarah. Di sisi lain,
hal ini dinilai Nirwan Ahmad Arsuka, kurator Bentara Budaya, justru menunjukkan
kekuatan sastra Galigo. Ia memuji daya imajinasi para pengarangnya. Namun yang
paling memikat hati Nirwan dari Galigo adalah petingkah tokoh-tokoh utamanya.
Ia menilai Galigo berlari jauh melampau zamannya. “Penggambaran yang begitu
transparan sangat dekat dengan kecenderungan sastra mutakhir dunia yang sudah
melampaui romantisme dan siap berdamai dengan sosok-sosok anti-hero,” kata
Nirwan yang berdarah Bugis ini.
Uraian kecerdasan para perawi Galigo bisa
lebih panjang lagi dituliskan. Namun hal ini tak akan bisa menutupi fakta bahwa
sureq ini kini kian pudar pesonanya. Banyak faktor yang membuat Galigo surut.
Gempuran awal pada Galigo dimulai ketika Islam masuk ke Sulawesi pada abad
ke-14. Awalnya, masih terjadi sinkretisme yang memberi ruang hidup ajaran
Galigo. Misalnya, para dewata dalam epos ini digolongkan kelompok jin yang
baik, sementara Sangiang Serrí tidak lagi disebut dewi padi tapi jiwa padi.
Namun, sejak akhir abad ke-18, di Sulawesi Selatan mulai berkembang ajaran yang
menginginkan ajaran agama Islam dilaksanakan secara murni. Puncaknya adalah
periode 1950-1965, masa ketika Darul Islam memberontak. Bissu, sebagai salah
satu pewaris utama ajaran Galigo, menjadi korban yang paling mengenaskan. Bissu
yang tersisa juga tak bisa berkiprah lebih banyak karena pamor bangsawan Bugis
yang jadi pengayom mereka juga ikut redup. Faktor lain yang menenggelamkan
kesaktian Galigo adalah modernisasi. Epos yang dulu memiliki fungsi menghibur
jadi tak laku bila dibandingkan dengan acara televisi. Para petani pun lebih
percaya pada pupuk dan benih unggul ketimbang memberi sesajian pada Sangiang
Serrí.
Namun Fachruddin melihat nasib buruk ini
tidak dialami Galigo saja, tetapi juga karya sastra tradisional lainnya di
Sulawesi Selatan. Ia melihat generasi yang lebih muda tak tertarik karena orang
tua mereka sudah tak menaruh perhatian. Perkecualian tentu ada. Maqbul Halim,
29 tahun, penggiat sebuah lembaga swadaya masyarakat di bidang media massa yang
tinggal di Makassar, mengaku masih membaca La Galigo. “Sewaktu kecil, di
kampung saya di Wajo, dari orang tua dan kakek-nenek saya, saya sering
mendengar penggalan cerita tentang kehidupan jawara atau jagoan bangsawan Bugis
yang ternyata adalah bagian dari Galigo.” Pemuda ini terlihat fasih berbicara
tentang naskah ini. Tapi orang seperti Maqbul sangat sedikit.
Upaya untuk mengembalikan Galigo pada
publiknya sebetulnya sudah dimulai cukup lama oleh kalangan akademisi. Namun
jalannya sampai saat ini masih tersaruk. Fachruddin mencontohkan beratnya
langkah penerbitan 12 jilid naskah Galigo (yang pekerjaan transliterasi dan
penerjemahannya dalam bahasa Indonesia sudah dirampungkan Muhammad Salim dalam
kurun waktu 5 tahun 3 bulan). “Yang siap memberikan suntikan dana justru
pemerintah Belanda, ironis, padahal untuk dua jilid hanya butuh sekitar Rp 100
juta,” kata Fachruddin.
Dalam seminar di Barru, banyak usul untuk
menghidupkan kembali La Galigo secara populer: pembuatan sinetron, komik,
ataupun penulisan ulang dalam bentuk novel. Yang sudah dimulai–sekalipun baru
tahap praproduksi–adalah pembuatan film La Galigo. Penggagasnya adalah
koreografer dan penari Restu Iman Sari dan sutradara pemenang Emmy Award asal
Amerika Serikat, Rhoda Grauer. Awalnya, duet ini berniat membuat film
dokumenter tentang perahu tradisional Bugis. Ternyata mereka malah “tersesat’
membikin film tentang bissu. Dari produksi ini, mereka mengenal epos Galigo dan
tak punya pilihan lain kecuali terpikat. “Sulit dipercaya ada hal sepenting
Galigo di bumi ini yang tidak dikenal secara global,” kata Grauer.
Pertanda baik dari kerja Restu dan
Grauer–yang kini senang dipanggil dengan nama Makkarodda (seperti salah satu
tokoh dalam Galigo)– adalah kesediaan Robert Wilson menjadi sutradara
pementasan La Galigo. Wilson adalah sutradara panggung yang sangat terkemuka di
Amerika. Salah satu kerjanya yang paling kondang adalah Einstein on the Beach
(1976), yang disebut-sebut sebagai pendekatan yang sepenuhnya baru untuk teater
musikal. Film yang dijadwalkan kelar tahun 2004 kelak diharapkan bisa membuka
mata banyak pihak. Sesungguhnya, keindahan La Galigo memang bukan cuma warisan
untuk suku Bugis.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar