Senin, 17 Juni 2013

Filsafat Cinta

Setiap orang pasti pernah pacaran, setidaknya sekali dalam hidupnya. Setiap suami pasti pacaran dulu dengan calon istrinya. Setelah mantap, baru mereka menikah. Kalo tidak mantap, yah putus, dan cari pacar lagi. Saya juga yakin, anda pasti pernah pacaran sebelumnya. Ya kan?
Setiap orang juga tahu, bahwa komponen terpenting dari pacaran adalah cinta. Ya, cinta! Namun, banyak orang kesulitan, ketika diminta menjelaskan, apa itu cinta? Ratusan pemikir dan ilmuwan mencoba mendefinisikan arti kata itu. Namun, tak ada yang sungguh bisa menjelaskannya. Atau, jangan-jangan cinta itu hanya bisa dirasa, tapi tak bisa dijelaskan dengan kata-kata? Bagaimana menurut anda?
Yang saya tahu, cinta itu punya enam komponen. Anggaplah saya punya teori sendiri tentang cinta, semacam filsafat cinta. Enam komponen itu adalah hasrat, kehadiran, komitmen, akal budi, berkembang, dan paradoks. Bingung? Tenang.. saya akan jelaskan satu per satu.
Hasrat
Komponen pertama dari cinta, menurut saya, adalah hasrat. Hasrat adalah keinginan yang membakar hati, dan mendorong kita untuk bertindak. Hasrat adalah sumber dari dorongan hidup manusia, yang membuat kita bangun di pagi hari, dan mulai melakukan aktivitas. Pada saat ini, saya yakin, anda sedang berhasrat untuk membaca tulisan saya. Iya kan? Hayoo ngaku…
Sekitar 50 tahun yang lalu, Jacques Lacan, seorang pemikir asal Prancis, pernah menulis, bahwa manusia adalah mahluk yang berlubang. Hah, berlubang? Bukan berlubang secara fisik, tetapi ia memiliki lubang dalam jiwanya yang terus menuntut untuk diisi. Isinya bisa macam-macam, mulai diisi dengan barang-barang mewah, teman, keluarga, cinta, dan sebagainya. Apakah anda punya lubang semacam itu di hati anda?
Pada hemat saya, Lacan betul. Saya sendiri merasakannya. Bagi saya, lubang dalam jiwa itu adalah sumber dari segala hasrat manusia. Artinya, keinginan dan dorongan hidup manusia berakar pada upaya manusia untuk mengisi lubang yang ada di dalam jiwanya. Saya menyebutnya sebagai “rumah hasrat”. Menarik bukan?
Saya pernah jomblo (ga punya pacar) cukup lama. Rasanya hampa. Hati kosong. Malem Minggu sepi. Mau curhat (curahan hati), tapi ga ada yang bisa diajak curhat. Akhirnya, di dalam hati muncul keinginan (hasrat) untuk mencari pacar lagi. Mirip seperti lagunya ST12 yang sempat terkenal, “cari pacar lagi…”
Setelah bergaul dan membuka lingkungan pergaulan baru (anak gaul nih ceritanya), saya pun mendapatkan pacar baru. Hati senang. Namun, itu tak lama. Si lubang (rumah hasrat) dalam diri kembali berteriak-teriak. Saya ingin pacar saya seperti ini, seperti itu. Tidak cocok. Putus lagi. Hampa lagi. Sedih lagi… hiks…
Dugaan saya, anda pun pernah mengalami seperti itu. Ga pacaran kesepian, tapi pacaran justru pusing dan repot. Manusia memang tak pernah puas, karena ia punya lubang hasrat di dalam dirinya yang menuntut untuk terus diisi, tanpa pernah sungguh penuh terisi. Artinya, kita seumur hidup selalu dibayangi oleh kecemasan untuk memenuhi hasrat kita. Tul ga?
Kata ajaran Buddha, lubang ini bisa dilenyapkan, dan manusia lalu bisa sampai pada kedamaian sempurna. Ajarannya kelihatan baik. Namun, menurut saya, justru hasrat ini yang membuat kita ini manusia, yang membuat kita ini hidup. Kalau dihilangkan, lalu kita ini apa namanya? Tidak tahu. Yang pasti bukan manusia. Robot? Mayat hidup? Hiii… Tidak bermaksud menghina ya. Bagaimana pendapat teman-teman yang mendalami ajaran Buddha?
Oke.. oke.. kembali ke tema utama. Jadi pada hemat saya, salah satu komponen utama cinta adalah hasrat, dan hasrat itu sudah selalu ada dalam diri manusia, apapun agama, ras, ataupun etnisnya. Hasrat yang mendorong kita untuk mencintai, pacaran, menikah, punya anak, dan sebagainya. Hasrat yang mendorong kita untuk hidup. Tanpa hasrat, kita bagaikan mayat hidup berjalan. Udah ah.. jangan ngomong mayat-mayat lagi.. serem…
Kehadiran
Komponen kedua, menurut saya, adalah kehadiran. Cinta itu butuh kehadiran, baik kehadiran fisik, maupun kehadiran hati. Orang yang mencintai harus “hadir” dengan seluruh dirinya untuk yang dicintai, untuk menemani, membantu, dan berjalan bersama dengan orang yang dicintainya. Kalo tidak hadir, maka apa gunanya pacaran, apa gunanya mencintai? Itu sama saja dengan “tidak mencintai” atuh. Ya kan?
Makanya, saya selalu kagum dengan orang-orang yang bisa pacaran jarak jauh, apalagi suami istri yang berhubungan jarak jauh. Kehadiran fisik hanya mungkin pada saat-saat tertentu saja, seperti pada saat liburan atau cuti. Yang mengikat mereka adalah kehadiran hati. Artinya, tubuhku jauh, tapi hati dan pikiranku bersamamu. Romantis ya? Cihuy…
Saya sering melihat, ada orang pacaran, tapi yang satu sibuk main Blackberry, yang satu sibuk main notebook. Mereka tidak bicara. Mereka tidak saling menatap. Lah, apa gunanya ketemu? Mereka pacaran, tetapi mereka tidak hadir untuk satu sama lain. Apa itu namanya? Temannya juga bukan pasti. Apakah anda seperti itu juga?
Saya juga sering marah, kalau berjumpa dengan teman, tetapi ia sibuk main Blackberry. Fisiknya ada di depan saya, tetapi perhatiannya entah kemana. Saya merasa diabaikan, ga dianggap manusia, tetapi cuma dianggap benda saja. Siapa yang tidak marah, kalau diperlakukan seperti itu?
Melihat itu semua, saya janji pada diri saya sendiri, bahwa saya akan memberikan perhatian penuh pada orang lain, jika mereka berbicara kepada saya. Saya tidak sibuk main BB, main notebook, atau main apapun. Saya akan mendengar, dan menanggapi, kalau diminta. Semoga janji saya ini juga bisa menginspirasikan anda untuk membuat janji yang sama kepada diri anda sendiri. Semoga….
Jadi intinya, orang pacaran itu harus punya cinta, dan cinta itu tandanya adalah kehadiran, baik kehadiran badan, hati, maupun pikiran. Tanpa kehadiran, pacaran itu cuma basa-basi, formalitas, atau sekedar menaikan status sosial. Kalau itu yang terjadi, semuanya jadi sia-sia. Kita jadi orang dangkal yang tak punya idealisme. Jangan jadi seperti itu ya… plis..
Komitmen
Komponen ketiga dari cinta, menurut saya, adalah komitmen. Komitmen adalah kesetiaan pada janji. Bukan hanya setia, tetapi janji itu dijalankan, ditepati, sampai sedetil-detilnya, dan jangan ditawar-tawar, kalau sudah disepakati. Ya ga?
Kok otoriter banget? Ga juga. Diskusi dan debat itu boleh dilakukan, sebelum janji dibuat. Tetapi ketika janji sudah disepakati, yah jangan ditawar lagi untuk membenarkan pelanggaran. Itu ndablek namanya. Hehehe…
Suatu saat, janji bisa berubah. Namun, sebelum janji berubah, harus ada pembicaraan dulu yang intensif, yang sering. Jangan tiba-tiba, salah satu pasangan ingin mengubah perjanjian, lalu semua berubah seenaknya. Yang penting, ketidaksepakatan itu dibicarakan. Bicara donk… jangan diam saja…
Saya sendiri juga bukan orang yang selalu tetap janji. Saya pernah melanggar janji. Tapi, saya sadar, dan kemudian berubah. Niat berubah pun belum tentu mengubah tindakan. Butuh waktu lama, sebelum niat sungguh menjadi kenyataan. Beberapa kali, saya dimarahi atau ditegur oleh pacar saya, karena tidak tepat janji. Maklum, namanya juga manusia. Yang penting kan ga diulangi lagi… hehehe..
Saya juga pernah punya pacar yang janjinya banyak, tetapi sering banget dilanggar. Akhirnya, kita berantem terus. Hubungan bukan lagi menjadi hiburan dan penguat, tetapi justru menjadi beban yang memberatkan. Susah kalo kita punya hubungan seperti ini. Bagaimana dengan kisah anda?
Pokoknya, cinta itu harus diikat dengan komitmen, baru sungguh menjadi cinta sejati yang menjadi penguat kehidupan, dan sumber kebahagiaan. Cinta tanpa komitmen itu seperti sambal tanpa cabe, artinya yah bukan sambal sama sekali. Ga ada gunanya. Masing-masing cuma menipu diri. Kita tidak hanya menipu orang lain, dengan mengaku mencintai dia, tetapi juga menipu diri sendiri. Kasiaaan banget….
Akal Budi
Cinta juga harus pake akal. Jangan mencintai secara gila-gilaan, sehingga ditipu pun tidak sadar. Orang yang mencintai juga harus tahu batas, kapan dia bisa memanjakan kekasihnya, memarahinya, atau meninggalkannya. Cinta tidak boleh buta. Duh.. hari gini, tetap saja masih ada orang yang mencintai secara buta, sehingga semuanya dikorbankan, termasuk uang, keluarga, dan sebagainya. Jangan jadi seperti itu ya…
Saya pernah punya teman perempuan. Ia amat mencintai suaminya. Apapun keinginan suaminya pasti dituruti. Gaya hidup mereka mewah, sementara pendapatan tak seberapa. Ketika situasi keuangan menurun, hubungan mereka krisis, dan pecah. Teman saya amat sedih dan patah hati. Ternyata, suaminya hanya mau dimanja, tetapi tidak mau hidup sulit bersamanya. Duh.. anda jangan sampai seperti itu ya…
Beberapa orang bilang, bahwa saya orang yang kejam. Di mata mereka, saya tuh pelit kalau pacaran. Kalau bikin perjanjian tuh tepat banget, sampe keliatan ga manusiawi. Pembelaan saya cuma satu, saya cuma ga mau memanjakan pasangan saya. Saya ingin mereka mandiri, dan tak tergantung secara emosional pada saya. Jahat ga sih begitu?
Saya juga dibilang sok-sok rasional. Itu sih tidak masalah, karena memang prinsip saya tetap sama, yakni pacaran dan cinta pun harus menggunakan akal. Jangan sampai kita diperas, karena cinta. Jangan sampai kita ditipu, karena cinta. Cinta tidak boleh membuat mata kita gelap dari kenyataan. Setuju ga? Hidup cinta.. hidup akal! Hush.. lebai..
Berkembang
Cinta sejati itu mengembangkan. Saya setuju dengan prinsip ini. Orang yang saling mencintai ingin pasangannya lebih baik, lebih pintar, lebih bijak. Hubungan mereka menjadi dasar untuk mengembangkan diri seutuhnya. Setuju?
Namun, ada kalanya upaya mengembangkan diri itu mengancam hubungan. Misalnya, istri dapat promosi di luar kota, dan harus meninggalkan keluarganya. Sementara, si suami merasa, bahwa urusan di rumah terlalu banyak untuk diurusnya sendiri, maka ia tidak setuju dengan rencana itu. Lalu bagaimana?
Saya rasa, tidak ada rumus universal untuk masalah itu. Yang perlu diperhatikan adalah prinsip berikut, semua keputusan yang dibuat harus didasarkan pada pembicaraan yang matang, egaliter, dan bebas dominasi antara semua pihak, yang nantinya terkena dampak dari keputusan itu. Proses ini menjamin, bahwa keputusan yang dibuat itu adil untuk semua pihak. Setujukah anda?
Berkembang juga harus tahu batas. Jangan sampai perkembangan diri justru malah menghancurkan hubungan. Percayalah, kesuksesan tidak ada artinya, kalau anda tidak punya orang yang bisa diajak untuk berbagi kesuksesan itu. Kebahagiaan itu bersifat sosial, dan tidak pernah bersifat semata individual. Orang yang paling berbahagia di dunia ini adalah orang yang paling banyak berbagi. Percaya tidak?
Saya punya seorang teman. Dia amat sabar, dan baik. Istrinya amat ambisius, dan sukses dalam karirnya. Pendapatan istrinya jauh lebih tinggi dari pada dia. Mereka hidup bahagia. Anaknya dua. Teman saya amat mendukung karir istrinya. Sementara, istrinya juga tahu batas, dan tak pernah mengorbankan keluarga. Saya tidak bilang, bahwa mereka keluarga sempurna. Namun, saya yakin, keluarga itu bisa menanggapi semua masalah kehidupan dengan baik, sebesar apapun masalah itu. Bagaimana pengalaman anda?
Paradoks
Esensi terdalam cinta, menurut saya, adalah paradoks. Paradoks itu artinya dua hal yang bertentangan, namun bisa menyatu, dan menciptakan sesuatu. Misalnya, anak itu sekaligus benci dan cinta pada ayahnya, atau orang itu sekaligus lembut dan keras pada saat bersamaan. Intinya, dua hal yang bertentangan justru bisa menyatu secara harmonis. Semoga anda tidak bingung ya..
Cinta pun juga paradoks. Di dalamnya, orang bisa merasakan benci dan sayang pada waktu yang sama. Cinta juga bisa bertahan, jika orang tidak terlalu mengikat pasangannya. Justru dengan melepas orang yang disayangi, maka cinta akan bertumbuh. Sebaliknya, dengan diikat, orang yang dicintai justru akan pergi. Apakah anda punya pengalaman seperti itu?
Kalau kata orang dulu, mencintai itu seperti menggengam pasir. Semakin kita kuat menggengam, semakin cinta itu jatuh. Sebaliknya, jika kita menggenggam dengan santai, maka pasir/cinta itu akan tetap di tangan kita. Jadi, cinta itu memang mirip pasir. Pasir adalah bahan dasar bangunan material, sementara cinta adalah bahan dasar bangunan spiritual. Romantis ya?
Di dalam cinta, semakin kita memberi, semakin kita akan mendapatkan. Semakin banyak kita berkorban, semakin kita akan memiliki banyak. Semakin kita mencintai, semakin kita akan dicintai. Namun, seperti prinsip di atas, prinsip akal budi tetap harus dipakai. Yang pantas-pantas saja dilakukan sebagai manusialah. Kalau kata anak remaja jaman sekarang, jangan lebay ya….
Saya punya pengalaman sewaktu masih kuliah dulu. Ketika pacaran, saya hitung-hitungan dengan pacar saya. Bukan hanya uang, tetapi waktu dan tenaga. Saya malas pergi keluar rumah. Saya malas mengunjungi tempat-tempat yang menarik. Bahkan, saya malas pergi ke kondangan. Siapa yang mau punya pacar seperti itu?
Alasan saya waktu itu hanya satu, yakni hemat, termasuk hemat uang, hemat tenaga, hemat bensin, dan sebagainya. Namun, proses pacaran kami jadi penuh tekanan. Pacaran jadi tidak enjoy, dan hanya menjadi beban. Semuanya dihitung, dan akhirnya saya pusing sendiri. Di akhir-akhir hubungan, saya mulai berubah mulai mengikuti keinginan pacar saya, walaupun itu melelahkan, dan buang-buang uang. Mukjizat terjadi? Hehehe..
Ternyata, hasilnya tidak jelek. Saya lebih enjoy, dapat banyak pengalaman dan pengetahuan baru, serta kenal dengan orang-orang baru. Wawasan saya diperluas. Bahkan, pacar saya bersedia patungan beli bensin, dan traktir makan. Sayangnya, hubungan kami tidak bertahan. Kami putus, karena alasan lain. Yang pasti bukan karena saya pelit… heheheh…
Kembali ke tema, intinya, pacaran itu harus punya cinta. Dan, cinta itu harus dihidupi dengan enam komponen, yakni komponen hasrat (1), kehadiran (2), kemampuan memberi ruang untuk berkembang (3), komitmen (4), harus pakai akal budi (5), dan dijalankan dengan penuh kesadaran akan paradoks hidup (6). Jadi, tunggu apa lagi? Yuk, kita pacaran! Yuk, belajar mencintai!

Tidak ada komentar:

Stay Connected

Translate Lenguage