Menteri Keuangan Agus Martowardojo memaparkan sejumlah alasan mengapa
harga bahan bakar minyak (BBM) bersubsidi harus naik. "Salah satunya
karena ada lonjakkan konsumsi," kata dia dalam rapat kerja pembahasan
subsidi energi antara pemerintah dan Badan Anggaran Dewan Perwakilan
Rakyat, Senin, 26 Maret 2012.
Lonjakan konsumsi, menurut Agus, diketahui setelah pemerintah menghitung volume penggunaan BBM bersubsidi pada Januari hingga Februari 2012. Dalam rancangan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara 2012, volume konsumsi dipatok sebesar 40 juta kiloliter. Namun data empirik penggunaan BBM sepanjang Januari hingga Februari 2012 mencapai 47,8 juta kiloliter. "Terjadi lonjakan sebesar 18 persen," ujarnya.
Agus mengatakan lonjakan konsumsi ini disebabkan harga BBM bersubsidi di Indonesia yang terbilang murah. Menurut dia, ketimpangan (disparitas) harga itu perlu dikoreksi. Murahnya harga BBM pun mengakibatkan banyaknya penimbunan dan penyelundupan. "Inilah yang membuat konsumsi melonjak. Masyarakat yang mampu beli BBM nonsubsidi pun tergiur menggunakannya karena selisih harga yang amat jauh," katanya.
Untuk menekan lonjakan konsumsi BBM bersubsidi, Agus menekankan perlunya kenaikan harga. Jika hal ini tak dilakukan maka cadangan risiko volume konsumsi BBM bisa mencapai Rp 24,6 triliun. Jika angka ini ditambah subsidi BBM sebesar Rp 178 triliun, subsidi listrik Rp 65 triliun, dan cadangan risiko energi Rp 23 triliun, maka total beban subsidi yang ditanggung negara mencapai Rp 290,6 triliun, 20 persen dari anggaran negara.
Ongkos subsidi ini bahkan lebih besar dibanding belanja infrastruktur yang mencapai Rp 160 triliun. "Anggaran subsidi itu terlampau besar, apalagi konsumennya mayoritas bukan masyarakat yang pantas disubsidi," ujarnya.
Namun anggota Badan Anggaran dari Partai Golkar, Satya W. Yudha, menilai selisih penggunaan BBM bersubsidi sebesar 7,8 juta kiloliter itu hanya ketakutan pemerintah. "Harusnya jika pemerintah melakukan fungsi kontrol dan pengawasan dengan baik, selisihnya tak sebesar itu," katanya
Lonjakan konsumsi, menurut Agus, diketahui setelah pemerintah menghitung volume penggunaan BBM bersubsidi pada Januari hingga Februari 2012. Dalam rancangan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara 2012, volume konsumsi dipatok sebesar 40 juta kiloliter. Namun data empirik penggunaan BBM sepanjang Januari hingga Februari 2012 mencapai 47,8 juta kiloliter. "Terjadi lonjakan sebesar 18 persen," ujarnya.
Agus mengatakan lonjakan konsumsi ini disebabkan harga BBM bersubsidi di Indonesia yang terbilang murah. Menurut dia, ketimpangan (disparitas) harga itu perlu dikoreksi. Murahnya harga BBM pun mengakibatkan banyaknya penimbunan dan penyelundupan. "Inilah yang membuat konsumsi melonjak. Masyarakat yang mampu beli BBM nonsubsidi pun tergiur menggunakannya karena selisih harga yang amat jauh," katanya.
Untuk menekan lonjakan konsumsi BBM bersubsidi, Agus menekankan perlunya kenaikan harga. Jika hal ini tak dilakukan maka cadangan risiko volume konsumsi BBM bisa mencapai Rp 24,6 triliun. Jika angka ini ditambah subsidi BBM sebesar Rp 178 triliun, subsidi listrik Rp 65 triliun, dan cadangan risiko energi Rp 23 triliun, maka total beban subsidi yang ditanggung negara mencapai Rp 290,6 triliun, 20 persen dari anggaran negara.
Ongkos subsidi ini bahkan lebih besar dibanding belanja infrastruktur yang mencapai Rp 160 triliun. "Anggaran subsidi itu terlampau besar, apalagi konsumennya mayoritas bukan masyarakat yang pantas disubsidi," ujarnya.
Namun anggota Badan Anggaran dari Partai Golkar, Satya W. Yudha, menilai selisih penggunaan BBM bersubsidi sebesar 7,8 juta kiloliter itu hanya ketakutan pemerintah. "Harusnya jika pemerintah melakukan fungsi kontrol dan pengawasan dengan baik, selisihnya tak sebesar itu," katanya
Tidak ada komentar:
Posting Komentar