Oleh: REZA A.A WATTIMENA
“…Dihadapan penderitaan yang sejak berabad-abad melimpah diatas dunia ini,
ajaran agama Kristiani tentang Allah yang mahakuasa dan maha baik
tidaklah meyakinkan…”[1]
Max Horkheimer
Bentuk ateisme yang paling sering
ditemukan dewasa ini adalah penolakan adanya Tuhan berdasarkan fakta
adanya penderitaan yang dialami manusia. Penolakan itu mendasarkan diri
pada satu titik, yakni jika Allah, dengan segala kualitasnya yang serba
Maha-, sungguh ada, mengapa ada penderitaan yang dialami oleh manusia?
Penderitaan tersebut bukan hanya dialami oleh manusia karena kesalahan
mereka sendiri, tetapi oleh manusia-manusia yang notabene tidak
bersalah, seperti anak-anak kecil, dan sebagainya. Tulisan ini mau
memaknai pemahaman filosofis macam itu dengan pendekatan yang lebih
bersifat eksistensialis. Artinya, eksistensi Tuhan tidak dipahami
sebagai sebuah entitas yang ikut campur secara langsung di dalam
pergulatan dunia manusia, melainkan Tuhan sebagai entitas yang membantu
manusia untuk mengintegrasikan penderitaannya ke dalam keseluruhan
pengalaman hidupnya sebagai manusia, sehingga penderitaan tersebut tidak
membuat manusia menjadi runtuh, melainkan semakin matang sebagai
manusia yang dewasa. Tesis ini mungkin masih mengundang pertanyaan lebih
jauh. Akan tetapi, tesis ini, pada hemat saya, bisa memberikan
kontribusi pada diskursus tentang eksistensi Tuhan dan penderitaan
manusia. Selamat mengikuti.
“…Saya tidak akan berpanjang-panjang,
tetapi saya akan berbicara sekeras dan segigih mungkin. Kejahatan ada.
Ini adalah sebuah fakta. Dengan membabi buta ia membabat baik yang tak
bersalah maupun yang bersalah. Ia menimpa anak-anak. Itu saja. Itu
cukup. Masalahnya telah beres. Tak ada apapun atau seorang pun yang akan
membebaskan Allah dari derita anak kecil, si buyung yang tidak
bersalah; betul, tidak ada, selain fakta bahwa ia tidak ada…”[2]
Ingatan kita masih segar atas bencana
tsunami yang menelan begitu banyak korban, baik itu materi maupun jiwa,
di Aceh Desember 2004 lalu. “…Diantara segala kepiluan, kebalauan, dan
kepanikan melakukan apa saja yang mungkin dalam menghadapi katastrofi
dasyat, sebagaimana gempa dan tsunami di Aceh Desember 2004 lalu,
biasanya selalu mendekam pertanyaan besar; apa mau Tuhan dengan semua
ini…” tulis Haidar Bagir dalam salah satu artikel di Kompas.
Jauh sebelum itu, tahun 1940-1945, di
Jerman, sekitar 6 juta orang Yahudi tewas di dalam kamar gas atas
perintah Hitler. Begitu banyak tragedi di masa silam, yang terjadi
menimpa manusia. Pengalaman-pengalaman negatif tersebut sungguh membekas
dalam benak kolektif kita sebagai manusia.
Menyimak begitu banyak fakta negatif
penderitaan dalam hidup manusia, kita mungkin bertanya-tanya, dimana
Tuhan, yang diyakini Maha Kuasa, Maha Adil, Maha Kasih, ketika
penderitaan berdarah tersebut terjadi? Pertanyaan itulah yang merangsang
keheranan saya ketika pertama kali menulis paper ini. Berbagai argumen
dan kontra argumen telah diajukan. Tapi, itu semua tidak dapat memuaskan
keheranan dan rasa ingin tahu yang ada di dalam diri saya. Rasa heran,
terkejut, sedih atas nasib manusia yang serba tidak jelas, atas fakta
adanya manusia yang mampu melakukan kejahatan yang begitu besar,
sehingga menciptakan penderitaan yang juga begitu besar bagi manusia
lainnya. Keheranan dan keterkejutan akan melimpahnya kejahatan dan
penderitaan yang ada di muka bumi ini mendorong saya untuk
mempertanyakan kemahakuasaan Allah, kemaharahiman Allah. Mungkinkah ada
Tuhan yang membiarkan adanya penderitaan di dunia ini? Jika kita
menempatkan seluruh pertanyaan tersebut dalam konteks filsafat,
pertanyaan tersebut menyangkut masalah teodisea, yakni masalah bagaimana
memahami sifat keadilan Allah berhadapan dengan fakta adanya
penderitaan.
Di sisi lain, kita dapat saja
berpendapat bahwa penderitaan bukanlah sesuatu yang cukup penting untuk
direfleksikan, apalagi kalau dikaitkan dengan pertanyaan tentang Tuhan.
Setidaknya begitulah yang dikatakan oleh Rabbi E. Davidovic ketika ia di
Auschwitz diajukan pertanyaan mengapa. Ia berkata, “…tidak. tidak. Saya
sama sekali tidak berpikir tentang apa pun. Disana kami tidak
berfilsafat. Kami hanya berupaya: bagaimana kami masing-masing dapat
bertahan dari hari ke hari…”[3]
Bagi dia, satu-satunya reaksi yang dapat dianggap sah ketika manusia
berhadapan dengan penderitaan adalah berjuang memeranginya. Ketika tidak
ada lagi yang bisa dikerjakan, sang penderita haruslah bertahan dalam
solidaritas dengan mereka yang menderita, itu tentunya kalau dia mau
bertahan terus dalam penderitaannya. Walaupun begitu, peran refleksi
dalam konteks ini tetaplah penting. Refleksi filosofis tentang
penderitaan sama sekali tidak mau menggantikan peran praksis. Refleksi
memiliki sumbangannya sendiri. Hal itu tentunya juga demi praksis yang
lebih manusiawi dan konsisten. Peran refleksi tidaklah tergantikan,
terutama ketika orang berhadapan dengan fakta adanya penderitaan.
Dari sudut teologi, persoalan
teodisea sudah dibuka ketika kita membaca penderitaan yang dialami oleh
seorang yang saleh. Orang itu adalah Ayub. Ayub berseru, “…Aku telah
bosan hidup,…Aku berseru minta tolong kepadaMu, tetapi Engkau tidak
menjawab; aku berdiri menanti, tetapi Engkau tidak menghiraukan aku…
Anak panah dari Yang Mahakuasa tertancap dalam tubuhku… semuanya itu
sama saja, itulah sebabnya aku berkata: Yang tidak bersalah dan yang
bersalah kedua-duanya dibinasakanNya…”[4]
Epikuros merumuskan problem ini
dengan, pada hemat saya, baik sekali. Dia menulis, “…Atau Allah mau
meniadakan kejahatan tetapi Ia tidak dapat, atau Ia dapat tetapi tidak
mau, atau IA tidak mau dan tidak dapat, atau Ia mau dan dapat
melakukannya. Jika Ia mau, tetapi tidak melakukannya, berarti Ia lemah,
tetapi itu tidak sesuai dengan hakekat Allah. Jika Ia dapat
melakukannya, tetapi tidak mau, berarti Ia buruk hati; tetapi ini pun
tidak sesuai dengan hakekat Allah. Jika Ia tidak mau dan tidak dapat,
berarti Ia sekaligus buruk hati dan lemah; tetapi kalau begitu Ia bukan
Allah. Bila ia mau dan dapat – memang begitulah seharusnya Allah- maka
dari manakah asalnya kejahatan, dan mengapa Ia tidak menghapuskannya?”[5]
Dengan ini, fakta bahwa penderitaan merupakan batu sandungan paling
berat bagi mereka yang mau percaya kepada Allah tidak dapat diragukan
lagi.
Filsafat sudah sejak lama bergulat
dengan masalah ini. Dalam bukunya, Leahy berpendapat bahwa fakta bahwa
dalam dunia ada kejahatan dan penderitaan merupakan sebab utama orang
menjadi ragu-ragu apakah memang ada Allah yang baik, yang menciptakan
dan memelihara alam raya dengan manusia yang ada didalamnya.[6]
Seluruh masalah eksistensi Allah dan penderitaan manusia ini dapat
dirangkum dalam satu pertanyaan, apakah sebab yang mendorong Allah untuk
membiarkan adanya kejahatan dan penderitaan merajalela dalam dunia,
yang kita percayai diciptakanNya?[7]
Leibniz menyebut masalah ini sebagai masalah teodisea. Kata teodisea ini berasal dari kata theos yang artinya Allah, dan dike
yang artinya keadilan. Secara singkat dapat dirangkum sebagai, masalah
pembenaran keadilan Allah. Mengapa kita mempersoalkan keadilan Allah
dihadapan sidang manusia? Karena Allah dipahami sebagai pencipta alam
raya bersama dengan manusia dan seluruh isinya, serta bertanggung jawab
penuh akan dinamika dan keselamatan ciptaanNya. Pemahaman seperti itu
tentunya bertabrakan dengan fakta bahwa ada begitu banyak kejahatan,
keburukan, penderitaan yang berlangsung di dalam alam ciptaanNya itu,
terutama yang dialami oleh mereka-mereka yang tak bersalah. Hal inilah
yang sesungguhnya menjadi masalah utama. Apakah fakta seperti itu adil?
Apakah Allah bisa dibilang maha adil jika Ia membiarkan
kejadian-kejadian negatif tersebut terjadi?
Inti masalah penderitaan sebenarnya
sudah sangat sempurna dirumuskan oleh Epikuros dalam kutipan diatas.
Solusi atas masalah penderitaan juga tidak bisa begitu saja dilemparkan
kepada manusia. Manusia tidak pernah dapat sempurna dalam melakukan
suatu tindakan yang positif, selalu ada pamrih, ada kelemahan, ada
kekurangan di berbagai celah. Manusia terbatas dalam kemampuan fisik,
dalam kejernihan berpikir, dalam kedewasaan emosional, dan sebagainya.
Oleh karena itu, manusia tidak akan pernah menjadi sempurna dalam semua
tindakan yang dilakukannya. Hal itu tentunya berbeda dengan hakekat
Allah. Allah, kalau dia memang ada, tidak terbatas sedikit pun. Dalam
konteks inilah para filsuf, dalam kesepakatan dengan para teolog
agama-agama teistik, sejak semula sudah menyetujui bahwa Allah itu
adalah maha-tahu, maha-kuasa, maha-adil, maha-kasih, dan sebagainya.[8]
Dari titik inilah lahir pertanyaan,
mengapa ada penderitaan? Apakah Allah tidak dapat mencipta dan
mengembangkan manusia tanpa menyiksa manusia itu sendiri? Apakah Allah
tidak dapat menciptakan alam semesta tanpa penderitaan? Apakah IA tidak
dapat, atau tidak mau? Keduanya tidak dapat dibenarkan. Jack Miles
merumuskan masalahnya begini, adanya penderitaan di dunia ciptaanNya
merupakan masalah Allah yang paling besar.[9]
Persoalan tersebut semakin mendesak dengan nyatanya fakta bahwa begitu melimpahnya penderitaan yang ada di dalam dunia.[10]
Hal itu juga bisa berarti, mengapa ada orang atau kelompok tertentu
yang tertimpa penderitaan tanpa dapat mengalami hal positif sama sekali.
Artinya, terlalu banyak penderitaan yang terjadi pada orang-orang yang
tidak bersalah, terlalu banyak darah yang dicurahkan secara sia-sia oleh
penderitaan. Fakta tersebut semakin mempersulit untuk menjelaskan
mengapa Allah, yang diyakini maha-kuasa dan maha-kasih, membiarkan
kejahatan dan penderitaan seperti itu berlangsung.
Yang harus diperhatikan adalah, bahwa
masalah pembenaran keadilan Allah ini tidaklah muncul di lingkungan
semua agama. Bagi masyarakat yang menganut pandangan dualisme, kita
dapat melihat adanya prinsip baik dan prinsip buruk, sehingga penderitaa
memang harus diandaikan ada. Masalah teodisea hanya muncul jika Allah
dipahami sebagai realitas personal-dialogal, dan bila setiap orang
secara personal memiliki nilai pada dirinya sendiri di hadapan Allah
maupun manusia lainnya. Eksistensi penderitaan menjadi masalah ketika
Allah dipahami sebagai realitas yang peduli pada manusia, yang adil,
yang berbelas kasih, yang membebaskan, yang suka mengampuni, yang
menyembuhkan. Atas dasar penghayatan Allah sebagai realitas yang
menyelamatkan dan menyembuhkan inilah penderitaan atas manusia-manusia
yang tak bersalah semakin tidak dapat dimengerti.
Berbagai Argumentasi yang Menolak Eksistensi Allah
Kalau kita mau
menyimpulkan, perjalanan teodisea pada jaman modern akan bermuara pada
penolakan secara radikal eksistensi Allah. Penolakan itu dilakukan lebih
atas dasar kepantasan moral dari sudut pandang manusia. Bertitik tolak
dari itu, Emmanuel Levinas mengatakan, “…kelemahan dan
ketidakmahakuasaan Tuhan disini memiliki korban manusia yang sangat
banyak. Pantaskan kita mengatakannya demikian?…Tahukah anda, saya tidak
mengerti perihal kemahakuasaan Allah, sekarang ini, setelah Auschwitz…
kataku: harganya terlalu mahal, dan korban itu bukanlah Allah, melainkan
kemanusiaan… kenosis dalam ketidakmahakuasaan ini memakan terlalu
banyak korban manusia…”[11]
Argumentasi yang senada, menolak kepantasan moral Allah, juga dapat
kita temukan pada tulisan Ernst Bloch. Bagi Bloch, kisah Ayub dalam
kitab suci dapat dimengerti sebagai sebuah pesan bahwa seorang manusia
melampaui Allahnya karena kesadaran moralnya bertahan di hadapan Allah,
yang notabene adalah hakim yang meragukan. “…Dalam kitab Ayub mulailah
sebuah pembalikan nilai yang luar biasa…: seorang manusia dapat lebih
baik, dapat berperilaku lebih baik daripada Allahnya… Kesadaran moral
Ayub bertahan dihadapan Yahwe, Hakim yang meragukan…seorang manusia
melampaui, ya mengatasi Allahnya (dari kaca mata moral), itulah logika
kitab Ayub…”[12]
Bloch ingin menegaskan bahwa setelah Ayub, setiap bentuk argumentasi
pembenaran atas keadilan Allah menjadi meragukan. “…Allah yang
sungguh-sungguh mahakuasa dan mahabaik tidak akan berdiam diri dan
nampak lelah dan lemah. Baik terhadap pendosa, apalagi, sebagaimana
ditunjukkan oleh Ayub- terhadap mereka yang benar dan adil…”[13]
Apakah Allah dapat disebut kudus dan suci kalau ia, secara moral,
lemah? Dapatkah Allah yang secara moral lemah dan ragu-ragu, tidak cukup
tegas memihak yang lemah dan menderita, menjadi Allah bagi manusia?
Jawaban atas berbagai argumentasi
diatas cukup jelas, bahwa Allah telah kehilangan kepantasannya untuk
dipercaya di mata manusia, karena Ia berdiam diri ketika penderitaan
terjadi di depan mataNya. Hal itu bertentangan dengan hakekatNya yang
mahakuasa, Ia ternyata tidak mampu atau tidak mau mencegah ketidakadilan
terhadap mereka-mereka yang tak bersalah, tidak mampu menghapuskan
penderitaan. “…penolakan untuk melakukan intervensi sungguh tidak
bermoral. Kendati saya ini mahluk terbatas, namun saya lebih bermoral
daripada Dia, karena saya berontak terhadap situasi semacam itu. Sama
saja kalau dikatakan bahwa IA tidak ada, sebab Allah yang tidak bermoral
itu sama dengan ketiadaan Allah…”[14]
Di titik inilah Stendhal merumuskan sebuah diktum termasyur yang konon
membuat Nietzsche iri, “…Satu-satunya alasan untuk memaafkan Allah
adalah dengan menegaskan, bahwa Ia tidak ada…”[15]
Odo Marquard juga bependapat searah dengan Stendhal, bahwa demi
kemuliaan Allah, sebaiknya Ia tidak ada saja. Dalam konteks ini
sebenarnya mau ditegaskan bahwa yang menjadi subyek sejarah bukanlah
Allah, melainkan manusia. Ini adalah konsekuensi logis dari optimisme
modernitas pencerahan atas konsep emansipasi dan otonomi manusia.
Manusia modern dengan otonomi dan rasionyalah, dan bukan Allah, yang
akan membawa sejarah manusia menuju kesempurnaannya, yakni penghapusan
segala bentuk penderitaan. Leahy merangkum gerak teodisea modern itu
dengan baik sekali, “…Rasa berontak terhadap kejahatan telah menyebabkan
orang menyangkal Tuhan, justru karena mereka percaya akan kemutlakkan
kebaikan moral itu sendiri…” Leahy juga menambahkan, “…sedemikian
transendenlah nilai moral itu, sampai orang ateis lebih suka menyangkal
Allah daripada menlihat nilai moral berkompromi dengan
kejahatan…kewajiban itu sedemikian kuatnya, sehingga orang merasa perlu
menyangkal Allah atas nama kewajiban itu…”, dengan kata lain,
“…seseorang menyangkal Allah untuk tetap setia kepada kemutlakkan nilai
moral tersebut…”[16]
Begitulah problem pembenaran keadilan Allah dapat diatasi dengan
menghilangkan salah satu premis dasarnya, yakni eksistensi Allah. Dengan
demikian, Allah telah mati.
Pertanyaan menentukan berikutnya
adalah, apa yang terjadi setelah Allah mati? Pertanyaan tersebut semakin
mendesak ketika dihadapkan pada fakta bahwa penderitaan ternyata tetap
ada, bahkan penderitaan tersebut tampil dalam bentuk yang baru dan lebih
mengerikan? Dengan menyatakan bahwa Allah telah mati, permasalahan
teodisea tidak otomatis terselesaikan, manusia tidak otomatis
terbebaskan. Ketika Allah dinyatakan mati, manusia kehilangan tempat
tujuannya untuk berkeluh kesah, manusia kehilangan tempat untuk
mendapatkan penghiburan dalam menghadapi penderitaan yang terjadi di
dalam hidupnya. Siapa kini yang bertanggung jawab, setelah Allah
disingkirkan, atas segala penderitaan yang tetap melimpah dalam sejarah
manusia ini? Pencerahan telah membawa manusia untuk menempati tahta yang
dulunya dipegang oleh Allah. Dengan paham emansipasi dan kebebasan,
manusia kini berdiri sebagai subyek dari sejarah, dialah yang
bertanggung jawab atas segala penderitaan, dan juga kemajuan kualitas
kehidupan manusia yang terjadi di muka bumi ini. “…dengan demikian
situasinya menjadi cukup pelik, bahkan tidak menentu lagi. Kemutlakan
yang ilahi diganti dengan kemutlakan yang manusiawi, tapi zat mutlak
baru ini tidak berdaya berhadapan dengan kejahatan, karena kejahatan itu
sedemikian menggunung sehingga menimbulkan kekagetan dan rasa
berontak…”[17]
Manusia, yang kini menduduki tahta Allah itu, ternyata, “…sama sekali
tidak memadai untuk menghadapi masalah kejahatan yang merupakan skandal:
sebab manusia sama sekali bukan korban kejahatan tetapi juga pelaku
kejahatan…”[18] Mungkin benar kata Nietzsche, tindakan kita membunuh Allah adalah tindakan yang terlalu besar bagi kita.
“…kemana sekarang dunia ini bergerak?
Kemana kita bergerak? …Masih adakah atas dan bawah? Tidakkah kita
menjadi tersesat dalam ketiadaan yang tanpa batas? Tidakkah kita
terjerat di dalam ruang yang kosong? Tidakkah dunia kita menjadi lebih
dingin? Tidakkah malam-malam kita menjadi lebih gelap?…bagaimana kita
sang pembunuh Allah menghibur diri kita sendiri? Yang mahasuci dan
mahakuasa yang sampai kini dimiiki dunia, telah berlumuran darah karena
pisau kita…tidakkah perbuatan ini terlalu besar untuk kita? Tidak ada
perbuatan yang lebih besar?…” demikian tulis Nietzche.[19]
Filsuf yang banyak membicarakan tema
ini adalah Albert Camus. Bagi dia, hidup di dunia ini sangatlah
terbatas, bahkan bisa dikatakan bahwa hidup ini absurd. Akan tetapi,
absurditas hidup itu sama sekali tidak boleh dihadapi dengan
keputusasaan, sebaliknya hidup harus dihadapi dengan sikap heroik. Harus
diakui, kita bisa saja mengatakan bahwa sejarah manusia adalah sejarah
mitos-mitos dimana begitu banyak kenyataan pahit yang menimbulkan
penderitaan disembunyikan. Sejak abad ke-18, hilangnya mitos-mitos itu
telah membawa perubahan besar pada seluruh cara manusia memandang
dunianya, karena kematian kini menjadi tanpa harapan, tanpa makna. Di
titik itulah Camus mengajak kita untuk menerima kematian yang tanpa
harapan dan tanpa makna itu dengan lapang dada, menerima keterbatasan
kita tanpa jatuh ke dalam keputusasaan.[20]
Dalam novelnya yang berjudul Sampar,
Camus melukiskan salah seorang tokohnya, yakni Dr. Rieux, sebagai
seorang dokter yang terus berjuang sekuat tenaga untuk mengatasi wabah
sampar, walaupun dia tahu bahwa pada akhirnya semua usahanya akan
sia-sia juga. Dengan kata lain, walaupun dia tahu bahwa dia akan kalah,
Dr. Rieux tetap saja terus melakukan apapun yang dapat dilakukan untuk
mengatasi wabah sampar tersebut.
Dalam kaca matanya, sampar bukanlah
hanya sekedar penyakit, atau wabah. Hidup ini sendiri adalah sampar!
“…satu kegagalan yang terus menerus…”[21]
itulah makna sampar bagi Dr. Rieux. Hidup ini memang absurd, tapi
idealisme moral untuk terus berjuang tetaplah harus dipertahankan. Oleh
karena itu, Dr. Rieux tetap bertahan dalam upayanya memerangi sampar,
walaupun ditinggalkan oleh teman-temannya. Ketika salah seorang
sahabatnya mengingatkan bahwa perjuangan melawan “…akan selalu bersifat
sementara saja, begitu saja…”[22] Dr. Rieux menyetujuinya sambil menambahkan, “…tetapi itu bukan alasan untuk menghentikkan perjuangan…”[23]
Nilai-nilai moral harus tetap diperjuangkan, walaupun dunia ini sebagai
keseluruhan adalah absurd dan tanpa makna. Inilah inti dari nilai
heroik yang dithawarkan Camus.
Heroisme seperti itu memang sangat
mengagumkan. Akan tetapi, dapat dipastikan akan segera muncul pertanyaan
seperti ini di dalam benak kita, berhadapan dengan absuditas hidup
manusia, dengan fakta bahwa satu-satunya yang pasti adalah fakta bahwa
kita akan terus gagal, akankah klaim etis dengan perjuangan nilai-nilai
moralnya layak untuk dihayati dan dihidupi? Mampukah kita mempertahankan
solidaritas kita dengan mereka yang menderita, terutama ketika kita
mengetahui bahwa solidaritas itu pun pada akhirnya akan sia-sia saja?
Masihkan kita memiliki kekuatan untuk berjuang, ketika absurditas
eksistensi manusia ternyata begitu definitif? Jawaban yang mungkin
muncul mungkin adalah tidak, manusia tidak akan mampu bertahan. Tanpa
harapan dan makna akan Allah, yang akan menyempurnakan segalanya, ia
tidak akan mampu bertahan menghadapi begitu melimpahnya penderitaan.
Solidaritas terhadap mereka yang menderita rupanya menuntut suatu
harapan dan makna yang tidak dapat diperolehnya sendiri, melainkan hanya
didapatkan dari Allah.
Jawaban Teodisea Klasik dan Keterbatasannya
Ada yang berpendapat bahwa
penderitaan haruslah ditempatkan di dalam keseluruhan realitas. Dengan
demikian akan kelihatan, bahwa ia memang perlu ada, antara lain demi
kebaikan dan terang yang lebih besar. Ibaratnya sebuah lukisan,
keindahan justru didapatkan kalau kita memasukkan warna gelap ke dalam
lukisan itu. Filsuf Perancis Rene Descartes pernah berkata, “…sesuatu
itu bisa tampak sangat tidak sempurna bila berdiri sendiri. Tetapi hal
yang sama akan kelihatan sangat sempurna bila dilihat sebagai bagian
dari alam semesta…”[24]
Atau, kita bisa melihat argumentasi yang dirumuskan oleh Leahy,
“…kejahatan kehilangan sifat jahatnya bila diletakkan dalam perspektif
perkembangan total: penderitaan tidak lain selain krisis pertumbuhan:
peperangan adalah benih lahirnya sejarah; pengorbanan yang dilakukan
generasi sekarang memungkinkan kelanjutan eksistensi masyarakat di masa
datang…”[25]
Dengan kata lain, disini penderitaan dan kejahatan dilihat sebagai
sesuatu yang positif karena ditempatkan di dalam keseluruhan realitas.
Akan tetapi, kita akan segera melihat bahwa, argumentasi tersebut
tidaklah mencukupi karena dangkal dan tidak sesuai dengan kesadaran
moral kita jika berhadapan dengan paham yang menempatkan manusia sebagai
subyek, yang tidak pernah boleh dijadikan sebagai alat untuk mencapai
sesuatu di luar dirinya, serta juga gagasan tentang Allah yang mencintai
setiap pribadi manusia.
Kita akan menemukan argumentasi yang senada dalam pemikiran Leibniz.
Bagi Leibniz, dalam segala kebijaksanaanNya yang tak terhingga, Allah
tentu saja tahu berbagai macam kemungkinan dunia yang dapat diciptakan.
Nah, karena Ia sekaligus mahakuasa dan mahabaik, maka dunia yang sudah
diciptakan ini adalah dunia paling baik yang mungkin diciptakan, sebuah
dunia yang paling baik yang mungkin. Maka dari itu, setiap penderitaan
haruslah diintegrasikan dalam keseluruhan dunia yang baik itu. Kritik
pun masih tetap dapat dilontarkan, yakni manusia saja masih dapat
membayangkan dunia yang lebih sempurna, terutama dunia dimana sama
sekali tidak ada kejahatan dan penderitaan, serta segala sesuatu yang
negatif. Menanggapi hal itu, Leibniz dengan baik sekali menulis,
“…memang, orang dapat membayangkan adanya dunia tanpa kejahatan dan
tanpa penderitaan…, sebagaimana dilukiskan dalam roman-roman utopis…
tetapi dunia seperti itupun tidak lebih baik dari dunia kita. Saya tidak
akan membuktikannya secara rinci. Bagaimana saya dapat melukiskan yang
tak terbatas serta mengenalinya dan membandingkannya? Tetapi, kita harus
setuju, bahwa Allah telah memilih menciptakan dunia ini sebagaimana ia
ada. Kita tahu juga, bahwa seringkali sebuah kejahatan menghasilkan
kebaikan yang tidak akan ada tanpa adanya kejahatan itu…”[26]
Dengan demikian,
ada kebaikan yang dihasilkan keburukan-keburukan itu. Ada yang positif
dari sesuatu yang negatif. Oleh karena itu, dunia yang memiliki hal-hal
negatif didalamnya mempunyai hal-hal positif lebih banyak daripada dunia
yang sama sekali tidak memiliki unsur-unsur negatif. Sayangnya, menurut
saya, argumentasi seperti ini tidak akan banyak berbunyi di telinga
orang yang menderita. Bahkan juga dapat ditafsirkan bahwa Leibniz
mendorong orang untuk berpaling dari kenyataan keras penderitaan, atau
untuk menutupi ciri-ciri skandal dari penderitaan. Selain itu, kita juga
tidak akan menemukan pertimbangan-pertimbangan yang lebih mendetail
dari persoalan mengapa orang harus menderita.
Masih ada argumentasi lain yang cukup
layak untuk dipertimbangkan, yakni rasa sakit dan penderitaan fisik pun
dapat berguna bagi perkembangan biologis kemudian. Pengalaman pahit pun
dapat memurnikan hati orang dan membuatnya semakin dewasa. Tentu saja
harus diakui bahwa pengalaman sakit dapat menimbulkan keberanian untuk
bangkit. Kesalahan sekarang dapat menjadi peringatan untuk terus menjadi
lebih baik di kemudian hari. Sejarah pun sudah menunjukkan, banyak
orang justru mengalami perkembangan rohani karena ia terlebih dahulu
telah mengalami penderitaan. Jawaban tersebut memang menarik untuk
ditanggapi. Akan tetapi, kita juga masih dapat mengajukan pertanyaan.
Mengapa peringatan tersebut harulah bersifat negatif dan menyakitkan?
Bukankah penderitaan seringkali juga dapat meremukkan seseorang?
Pertanyaan mengapa tidak semua orang mengalami penderitaan yang sama
beratnya pun tidak akan terjawab.
Masih ada argumentasi lain, yakni
bahwa Allah sebenarnya tidak menghendaki kejahatan dan penderitaan. Ia
hanya mengizinkannya. Dalam beberapa segi, argumen ini mengandung
kebenaran tertentu. Tetapi kita juga dapat bertanya, faktor apa yang
begitu penting sehingga Allah terpaksa mengizinkan sesuatu yang notabene
tidak dikehendakiNya? “…sesuatu yang tidak sesuai dengan tuntutan suara
hati atau rasa moral manusia mau diperbolehkan agar Tuhan
melaksakannya… Bukankah semua ini agak berlebihan? Dan si ateis akan
mengatakan, seseorang yang menolak kejahatan karena dia bermoral lebih
superior daripada Tuhan yang malah mentolerir kejahatan itu…”[27]
Demikianlah kiranya
sejumlah bentuk argumentasi teodisea klasik yang mau memecahkan problem
penderitaan dalam relasinya dengan Allah. Dalam beberapa sisi,
argumen-argumen tersebut mengandung kebenaran-kebenaran tertentu. Akan
tetapi, masalah sesungguhnya tetap tak terpecahkan. Penderitaan dan
kejahatan yang begitu melimpah tetaplah fakta realitas manusia yang tak
masuk akal, absurd. “…ada terlalu tindakan biadab yang dilakukan manusia
dan tidak dapat dijelaskan oleh siapapun dalam sejarah umat manusia.
Ada terlalu banyak orang yang tidak bersalah menderita, penderitaan yang
tidak bermakna, sehingga kita tidak dapat lagi secara etis,
hermeneutis, ataupun ontologis membuat rasionalisasi atas penderitaan
itu…sejarah adalah suatu ekumene penderitaan…”[28]
Jika fakta melimpahnya penderitaan dipahami sebagai bentuk untuk
menyinkronkan kebaikan, keadilan, dan kemahakuasaan Allah, maka teodisea
akan berakhir dalam kegagalan. Immanuel Kant pun berpendapat bahwa akal
budi kita pun tidaklah mampu memahami relasi-relasi antara dunia yang
kita kenal melalui pengalaman dengan kebijaksanaan tertinggi. Setelah
ini semua, apakah argumentasi untuk mendamaikan penderitaan manusia dan
eksistensi Allah telah terhenti?
Menuju Pendekatan yang Integral atas Penderitaan
Sebenarnya tidak perlu bencana besar
untuk menggoncangkan kepercayaan orang pada adanya Tuhan. Kadang kala,
kegagalan pekerjaan, penyakit, rasa kehilangan, pengkhianatan, atau
kematian orang yang dikasihi dapat menjadi cukup untuk menjadikan orang
ateis. Salah contoh yang paling jelas adalah ketika Harold Kushner,
seorang rabi Yahudi, menulis buku yang terkenal setelah ia mengalami
kematian anaknya. Judul buku itu adalah, When Bad Things Happen to Good People.
Dalam buku itu, ia mengusulkan agar paham tentang kemahakkuasaan Tuhan
sebaiknya dihilangkan saja. Akan tetapi, kita bisa membayangkan
sebaliknya: When Good Things Happen to Bad People, ia
barangkali akan mengusulkan agar pertanyaan-pertanyaan tentang keadilan
Allah sebaiknya ditolak saja. Di pihak lain, kita dapat menemukan
berbagai upaya, baik itu filosofis maupun teologis, untuk
merasionalisasikan penderitaan. Akan tetapi, pemaknaan mengenai
penderitaan dan eksistensi Allah tidak bisa melulu dipahami secara
teoritis, melainkan dengan pendekatan praktis.
Tidak ada penjelasan teoritis yang
memuaskan untuk menyingkapi pelbagai penderitaan dan kejahatan yang
begitu melimpah di dunia ini. Penderitaan sebagai realitas negatif
adalah fenomena manusia yang tidak terselami, betapapun kita mencoba
menerangkannya dengan pelbagai teori religius ataupun non-religius yang
ada pada kita. Masalah eksistensi Allah dan penderitaan absurd yang
dialami manusia tetap tersembunyi, kalau tidak mau diabaikan, baik bagi
orang beriman ataupun orang ateis.
Maka, ketika kita berhadapan dengan penderitaan, harus diterima bahwa ia adalah fakta hidup yang kini ada,
pernah ada, dan akan selalu ada, terlepas dari apakah orang mau
menerima eksistensi Allah atau tidak. Jika berhadapan dengan penderitaan
sebagai fakta hidup, kaum beriman ataupun ateis selalu bertanding
remis. Artinya, masalah mengapa penderitaan ada, tidak bisa dipecahkan
dengan menerimanya adanya Allah (pihak teis, atau kaum beriman), maupun
dengan menolak adanya Dia, dimana mereka, kaum ateis, tidak bisa
menjelaskan mengapa dunia dengan penderitaan tidak menjadi lebih baik
dengan hanya mencoret Tuhan. Penderitaan pun tetap menjadi teka-teki
bagi kehidupan manusia, terlepas apakah dia seorang beriman atau tidak.
Dengan memahami penderitaan sebagai
fakta hidup yang penuh misteri, ia juga perlu dihadapi dengan realistis,
dan dengan sikap respek terhadap hidup. Artinya, penderitaan tidak
perlu dicari-cari, melainkan diterima dengan lapang dada ketika ia
datang menimpa. Sebagai sebuah fakta hidup, penderitaan pada dirinya
sendiri tidaklah bernilai, maka sikap mencari-cari penderitaan adalah
perversi hidup. Penderitaan tidak hanya ditanggung atau diterima,
melainkan juga diperangi dan diatasi dengan sekuat tenaga yang ada pada
kita. Panggilan dalam menanggapi penderitaan adalah panggilan manusia
untuk berpraksis. Praksis tersebut dapat terwujud dalam upaya untuk
mencari akar dan sumber dari penderitaan tersebut, baik pada level
individual maupun level struktural, yang lalu ditangani secara konkret.
Dengan kata lain, “…yang tertindas dibebaskan, yang lapar dikenyangkan,
yang sakit disembuhkan, yang miskin dijadikan sejahtera, yang bersedih
hati dihibur dan didampingi dengan rasa keterlibatan…”[29]
Pada satu titik, perjuangan menentang
penderitaan dan ketidakadilan kerap menemui jalan buntu. Di titik
inilah penderitaan dan ketidakadilan tidak hanya perlu diatasi atau
diperangi, melainkan juga diolah dan diintegrasikan. Artinya,
penderitaan tersebut dilihat dan dirangkum sebagai satu kesatuan
menyeluruh menyangkut seluruh dimensiku. Dengan kata lain, “…penderitaan
kuterima dan kuakui sebagai bagian faktual dari caraku menghayati hidup
dengan segala misterinya, caraku melihat dunia, bekerja dan bertindak,
entah sebagai syarat, entah sebagai konsekuensi dari, misalnya,
perjuanganku demi sesuatu yang bersifat mutlak…”[30]
Manusia memerlukan kesabaran dan
ketabahan hati untuk menerima dan menanggung penderitaan. Jika sudah
seperti itu, ia akan tumbuh dan berkembang melalui penderitaan itu.
Manusia yang selalu beruntung dalam hidupnya tidak akan pernah ditempa
menjadi manusia yang kuat dan utuh. Tanpa tempaan, ia akan menjadi
dangkal dan tidak bisa berkembang ke arah yang lebih baik. Bersama Karl
Jaspers, penderitaan dilihat dan dimaknai sebagai situasi batas, yang
membawa manusia kepada transendensi Tuhan. Dengan demikian, orang yang
mengalami penderitaan bisa berkata, “…penderitaanku tidak lagi secara
kebetulan merupakan nasib buruk belaka, melainkan mulai munculnya
eksistensi melalui dasein…”[31]
Kiranya jelas pada tahap terakhir
ini, bahwa pengalaman akan Tuhan, akan yang Transenden, memberikan
sumbangan besar bagi manusia untuk memahami penderitaan dan
mengintegrasikannya ke dalam keseluruhan hidupnya. Suatu kepercayaan
bahwa penderitaan bukanlah akhir dari segala-galanya, bahwa masih ada
harapan akan kebahagiaan dan kehidupan yang lebih baik, juga bahwa
“…kerinduan akan yang serba lain…”, seperti ditulis oleh Max Horkheimer,
akan menemukan kepenuhannya.
Kesimpulan dan Penutup
Penderitaan manusia dan eksistensi
Allah bukanlah sesuatu yang selayaknya dipertentangkan. Dalam
penderitaan, manusia membukan dimensi terhadap yang transenden, ia
membuka pintu bagi transendensi. Kendati mengalami penderitaan, banyak
orang, meskipun tidak selalu, tetap memiliki kepercayaan dan harapan
kepada Allah. Dengan demikian, eksistensi Allah tidaklah dapat dipahami
sebagai entitas yang mengintervensi kehidupan manusia dan serta-merta
mencegahnya mengalami penderitaan, melainkan sebagai sebuah kekuatan
dengan kemahakuasaan dan belaskasihNya untuk membantu manusia memahami
dan mengintegrasikan penderitaan dalam hidup ke dalam keseluruhan
eksistensinya. Argumentasi ini tidak dapat sepenuhnya memuaskan
kerinduan intelektual kita untuk memahami eksistensi Allah di tengah
melimpahnya penderitaan di dunia. Akan tetapi, sebagai sebuah usaha
filosofis, argumen tersebut bisa ditempatkan sebagai sebuah kontribusi
dalam debat teodisea yang sampai sekarang masih berlangsung. Seperti
semua pertanyaan menuntut jawaban, yang notabene jawaban tersebut akan
membuka pertanyaan yang lebih banyak lagi, tulisan ini diharapkan akan
membuka pertanyaan lebih jauh tentang teodisea. Terima kasih.
Daftar Pustaka
A. Sunarko, “ Teodisea, Antropodisea, Anti-Teodisea? Allah, Manusia, dan Penderitaan”, Diskursus, Vol.4, no. 3, Jakarta, STF Driyarkara, 2005, hal. 215.
L. Leahy, Filsafat Ketuhanan Kontemporer, Yogyakarta, Kanisius, 1994, hal. 272.
F. Magnis Suseno, “Mendakwa Allah? Catatan Tentang Teodisea”, Diskursus
Jack Miles, Christ. A Crisis in the Life of God, New York, Alfred A. Knopf, 2001.
L. Leahy, Esai Filsafat untuk Masa Kini. Telaah Masalah Roh-Materi Berdasarkan Data Empiris Baru, Jakarta, Pustaka Utama Grafiti, 1991.
F. Nietzsche, “Ecce Homo,” dalam Friedrich Nietzsche. Studienausgabe, Band 4, Frankfurt, Fischer Bücherei,
A. Camus, Sampar, Jakarta, Yayasan Obor Indonesia, 1985
S.P. Lilik Tjahjadi, Atheisme Modern, Jakarta, STF Driyarkara, 2005, (tidak dipublikasikan),
Gambar dari Google Pictures
Sudah dipublikasikan di www.dapunta.com
Penulis adalah Pengajar Fakultas Filsafat UNIKA Widya Mandala, Surabaya
[1] Max Horkheimer, Die Sehnsucht nach dem ganz Anderen,
Hamburg, Furche-Verlag, 1971, S.60, seperti dikutip oleh A. Sunarko, “
Teodisea, Antropodisea, Anti-Teodisea? Allah, Manusia, dan Penderitaan”,
Diskursus, Vol.4, no. 3, Jakarta, STF Driyarkara, 2005, hal. 215.
[2] Roger Ikor dalam pekan cendekiawan Katolik 1965, seperti dikutip oleh L. Leahy, Filsafat Ketuhanan Kontemporer, Yogyakarta, Kanisius, 1994, hal. 272.
[3] J. –H. Tück, Christologie und Theodizee bei Johann Baptist Metz. Ambivalenz der Neuzeit im Licht der Gottesfrage, München, Schoeningh, 1999, S. 262. seperti dikutip oleh A. Sunarko, op.cit, hal. 208.
[4] Ayub 10, 1; 30, 28; 6, 4; 9, 22.
[5] Epikuros, Brief an Menoeikeus (Surat Kepada Menoeikeus), fragmen no. 106, dalam: Griechische Atomisten, diterjemahkan oleh F. Jürss, R Müller, Leipzig, 1977, hal. 334. seperti dikutip oleh S. Lilik Tjahjadi, Diktat Ateisme Modern (tidak dipublikasikan), STF Driyarkara, 2005. hal. 2.
[6] L. Leahy, op.cit, hal. 269.
[7] F. Magnis Suseno, “Mendakwa Allah? Catatan Tentang Teodisea”, Diskursus, op.cit, hal. 233.
[8] Ibid, hal. 234.
[9] Jack Miles, Christ. A Crisis in the Life of God, New York, Alfred A. Knopf, 2001, seperti dikutip oleh F. Magnis Suseno, op.cit, hal. 234.
[10] L.Leahy, op.cit, hal. 276.
[11] M. Striet, “ Versuch über die Auflehnung. Philosophisch-theologische Überlegungen zur Theodizeefrage”, pada H. Wagner, Mit Gott streiten. Neue Zugaenge zum Theodizeeproblem, Freiburg, Herder, 1998, S. 51. seperti dikutip oleh A. Sunarko, op.cit, hal. 214.
[12] E. Bloch, Atheismus im Christentum. Zur Religion des Exodus und des Reichs, Hamburg, Rowohlt Verlag, 1970, S. 106-107. seperti dikutip A. Sunarko, ibid.
[13] Ibid, S. 116.
[14] L. Leahy, Esai Filsafat untuk Masa Kini. Telaah Masalah Roh-Materi Berdasarkan Data Empiris Baru, Jakarta, Pustaka Utama Grafiti, 1991, hal. 133-134
[15] Bagi Nietzsche, ini adalah lelucon terbaik para ateis. “…Vielleicht
bin ich selbst auf Stendhal neidisch? Er hat mir den besten
Atheisten-Witz weggenommen, den grade ich hätte machen können: die
einzige Entschuldigung Gottes ist, dass er nich existiert… Ich selbst
habe irgendwo gesagt: was war de größte Einwand gegen das Dasein bisher?
Gott…” F. Nietzsche, “Ecce Homo,” dalam Friedrich Nietzsche. Studienausgabe, Band 4, Frankfurt, Fischer Bücherei, S. 143-218; 162.
[16] L. Leahy, Esai Filsafat untuk Masa Kini, op.cit, hal. 126,131,133.
[17] Ibid, hal. 136.
[18] Ibid, hal. 138.
[19] F. Nietzsche, Die Fröchliche Wissenschaft, Leipzig, Reclam-Verlag, 1990, S. 130. seperti dikutip oleh A. Sunarko, op.cit, hal. 217.
[20] M. Striet, Der Neue Mensch, Unzeitgemäβe Betrachtungen zu Sloterdijk und Nietzche, Frankfurt, Verlag Josef Knecht, 2000, S.103. seperti dikutip A. Sunarko, op.cit, hal. 218.
[21] A. Camus, Sampar, Jakarta, Yayasan Obor Indonesia, 1985, hal. 111.
[22] Ibid.
[23] Ibid.
[24] L.Leahy, Esei Filsafat untuk Masa Kini, op.cit, hal. 116.
[25] Ibid.
[26] J. Schmidt SJ, “Das Philosophieeimmanente Theodizeeproblem und seine theologische Radikalisierung”, Theologie und Philosophie 72 (1997), S. 250.
[27] L. Leahy, op.cit, hal. 18.
[28] E. Schillebeeckx, Christus und die Christen. Die Geschichte einer neuen Lebenpraxis, Freiburg, Herder, 1977, S. 706. seperti dikutip dari A. Sunarko, op.cit, hal. 213.
[29] S.P. Lilik Tjahjadi, Atheisme Modern, Jakarta, STF Driyarkara, 2005, (tidak dipublikasikan), hal. 52.
[30] Ibid.
[31] Ibid.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar