Selasa, 11 Juni 2013

INTERFERENSI BAHASA DAERAH (PONJO-PONJO) DALAM PROSES BELAJAR MENGAJAR DI SEKOLAH

Makalah Sosiolinguistik

 

A.                Latar Belakang

Bahasa Indonesia merupakan alat pemersatu berbagai suku bangsa yang memiliki latar belakang berbeda-beda, bahasa Indonesia juga memiliki sifat Hiponim sebab bahasa Indonesia dapat mencakup seluruh penggunaannya dalam berkomunikasi. Selain bahasa Indonesia yang digunakan secara nasional, terdapat pula ratusan bahasa daerah yang digunakan oleh masyarakat, baik untuk komunikasi sehari-hari maupun keperluan yang sifatnya kedaerahan.

        Dalam masyarakat multilingual yang mobilitasnya tinggi, anggota-anggota masyarakatnya akan cenderung untuk menggunakan dua bahasa atau lebih, baik sepenuhnya atau sebagian, sesuai dengan kebutuhan (Chaer, 1994:68). Kefasihan seseorang menggunakan dua bahasa sangat tergantung kepada kesempatan menggunakan kedua bahasa tersebut. Jika kesempatannya banyak, maka kefasihannya akan bertambah baik, sebaliknya bila sedikit kesempatan maka kefasihannya akan tetap atau bahkan berkurang.

Bahasa Bugis pada umumnya dipakai oleh masyarakat yang tinggal di propinsi Sulawesi Selatan. Bahasa Bugis sebagai bahasa daerah mempunyai logat dan dialek yang berbeda-beda sesuai dengan wilayah domisili penuturnya. Selain di Propinsi Sulawesi Selatan, khususnya daerah yang dominan masyarakatnya menggunakan bahasa Bugis untuk berkomunikasi yakni di Kabupaten Pinrang. Suku Pattinjo, adalah etnis yang menghuni daerah Kecamatan Patampanua, Duampanua dan Lembang di kabupaten Pinrang, provinsi Sulawesi Selatan.

Keberadaan suku Pattinjo sendiri selama ini diakui sebagai orang Bugis atau hanya dianggap sebagai salah satu sub-suku Bugis. Sedangkan pemerintah setempat sering mengkategorikan orang Pattinjo sebagai suku Bugis Pattinjo. Suku Pattinjo sebenarnya layak disebut 'suku", karena sejak dahulu suku Pattinjo telah memiliki struktur pemerintahan sendiri yang mereka patuhi dan berlaku turun temurun, seperti Maddika (setingkat Kepala Desa), Tomakaka dan Pakkarungan (Arung). Selain itu suku Pattinjo juga memiliki adat-istiadat, budaya serta bahasa sendiri disebut dengan bahasa Ponjo-ponjo.

Suku Pattinjo secara kultur budaya sebenarnya lebih mendekati kultur budaya orang Toraja. Dari segi bahasa juga, bahwa bahasa Pattinjo lebih banyak kemiripan dengan bahasa Toraja, dibanding dengan suku Bugis dan Makasar. Bahkan menurut sebuah tulisan di web, mengatakan bahwa secara struktur fisik, orang Pattinjo memiliki struktur fisik orang Toraja. Menurut dugaan bahwa kemungkinan dahulunya orang Pattinjo memiliki sejarah asal usul yang sama dengan orang Toraja.

        Dalam penggunaan bahasa Daerah yang dikuasai anak sejak kecil dan terus digunakan dalam kehidupan siswa yang bersekolah sudah tentu berpengaruh pada penggunaan bahasa pada saat mereka mengikuti pelajaran di sekolah. Apalagi anak sekolah dasar yang masih kental dengan bahasa ibunya. Selain itu juga, penduduk yang tinggal di sekitar sekolah mayoritas suku Bugis, kemungkinan anak-anak menggunakan bahasa Daerah untuk berkomunikasi dalam proses belajar mengajar di sekolah sangat besar. Chaer (1994) menyebut gejala pemakaian bahasa seperti ini sebagai interferensi bahasa. Interferensi bahasa adalah terbawa masuknya unsur bahasa lain dalam bahasa yang sedang digunakan, sehingga tampak adanya penyimpangan kaidah dari bahasa yang sedang digunakan

        Penelitian ini mencoba mendeskripsikan bentuk-bentuk interferensi bahasa daerah (ponjo-ponjo) suku pattinjo dalam proses belajar mengajar di sekolah. Hasilnya diharapkan dapat dijadikan informasi penting bagi pemerhati bahasa dalam upaya pengembangan dan pembinaan bahasa Indonesia.

B.                 Rumusan Masalah

Metode yang digunakan dalam penulisan ini adalah metode deskriptif kualitatif. Datanya adalah bahasa lisan yang dituturkan oleh baik siswa maupun guru di dalam proses belajar mengajar bahasa Indonesia di kelas. Data tersebut diperoleh dengan teknik simak libat cakap, catat, dan rekam.

Data yang terkumpul dianalisis dengan metode padan intralingual dengan teknik hubung banding menyamakan dan membedakan bentuk-bentuk interferensi yang teranalisis. Selain itu digunakan juga metode padan ekstralingual dengan teknik hubung-banding bentuk-bentuk bahasa dengan hal-hal luar bahasa, misalnya kesepadanan bentuk bahasa yang digunakan dengan penutur, tujuan, dan konteks tuturan.

C.                Tujuan Penulisan

Penulisan ini mencoba mendeskripsikan bentuk interferensi bahasa daerah (ponjo-ponjo) dalam proses belajar mengajar di sekolah. Hasilnya diharapkan dapat dijadikan informasi penting bagi pemerhati bahasa dalam upaya pengembangan dan pembinaan bahasa Indonesia.

PEMBAHASAN

        Masuknya bahasa Daerah dalam tuturan yang dilakukan siswa dalam pembelajaran bahasa Indonesia di sekolah, umumnya terjadi secara spontan, artinya dalam berkomunikasi siswa tidak merancang penuturan kalimat harus menggunakan bahasa ini. Namun tuturan percakapan dengan bahasa tersebutlah yang sebenarnya dikuasai. Dengan demikian interferensi yang terjadi dikarenakan oleh kebiasaannya bertutur menggunakan bahasa Daerah dalam kehidupan sehari-hari.

        Setelah diperoleh data penelitian dari tuturan yang dihasilkan siswa dan guru yang berlangsung pada saat proses belajar mengajar, peneliti menemukan bahwa interferensi yang terjadi dalam tuturan siswa dan guru terdapat tiga jenis interferensi yaitu pada tataran fonologi, morfologi, dan sintaksis. Interferensi fonologi dapat dibedakan menjadi: interferensi yang terjadi dalam vokal, diftong dan konsonan. Interferensi morfologi dapat dibedakan menjadi: Prefiks, sufiks, dan konfiks. Selanjutnya, interferensi sintaksis dapat dilihat pada tataran frasa dan klausa.

           

A. Interferensi  Fonologis

        Interferensi fonologis adalah kekacauan atau gangguan sistem suatu bahasa yang berhubungan dengan fonem. Interferensi fonologi ini terjadi pada tataran vokal, diftong dan tataran konsonan. Interferensi pada tataran vokal tampak seperti di bawah ini.

            Tarima             -----------   terima

            tulung              -----------   tolong

            cilaka               -----------   celaka

            pulo                 -----------   pulau 

            talinga             -----------   telinga

            sikola               -----------   sekolah

     

  Data tersebut memperlihatkan bahwa interferensi fonologi bahasa Ponjo-ponjo dalam bahasa Indonesia yang terjadi pada tataran vokal yakni terjadi perubahan vokal [e] dalam bahasa Indonesia menajdi vokal [a] dalam bahasa Daerah. Pada kata tarima terjadi perubahan vokal [e] dengan vokal [a]. Perubahan ini disebut interferensi yang terjadi pada fonem dari bahasa Daerah kedalam bahasa Indonesia sebab pola baku bahasa Indonesia adalah “terima” bukan tarima.

        Kata “tolong” dari bahasa Indonesia, berubah pengucapan dalam bahasa bugis menjadi tulung. Perubahan kata tulung terjadi pada perubahan vokal [o] menjadi vokal [u]. Pada kata “celaka” dari bahasa Indonesia, berubah pengucapan dalam bahasa Bugis menjadi cilaka. Perubahan pada kata cilaka terjadi pada perubahan vokal [e] menjadi vokal [i]. Pada kata sikola terjadi perubahan vokal [i] menjadi vokal [e]. Perubahan ini disebut interferensi yang terjadi pada fonem dari bahasa Daerah ke dalam bahasa Indonesia sebab pola baku bahasa Indonesia adalah “sekolah” bukan sikola. Perubahan pengucapan vokal [a] menjadi vokal [e] pada kata “telinga” dalam bahasa Indonesia menjadi talinga dalam bahasa Daerah.

        Interferensi fonologi bahasa Daerah dalam bahasa Indonesia terjadi pula pada bidang diftong, misalnya pulo ‘pulau’. Dalam hal ini, kata pulo dalam bahasa Daerah berekuivalen dengan kata “pulau” dalam bahasa Indonesia yang terdapat diftong [au]. Dalam kata pulo diakhiri vokal [o] namun dalam kata “pulau” diakhiri dengan diftong [au]. Oleh sebab itu, kata “pulau” sudah terinterferensi bahasa Daerah menjadi pulo.

      

  Interferensi fonologi bahasa Daerah dalam bahasa Indonesia juga terjadi pada bidang konsonan yakni terjadi perubahan konsonan dalam bentuk penambahan bunyi konsonan, penghilangan bunyi konsonan dan penggantian bunyi konsonan. Hal ini terlihat dari data berikut.

sala                  --------              salah

suju                  --------              sujud

ati                    --------              hati

pasa                 --------              pasar

Data di atas memperlihatkan bahwa pengucapan kata “salah” dan “sujud” dalam bahasa Indonesia akan menjadi sala dan suju dalam pengucapan bahasa Ponjo-ponjo. Ini merupakan interferensi fonologi dalam bidang konsonan sebab terjadi penghilangan bunyi [h] dan [d]. Demikian juga pada kata “hati” juga merupakan interferensi fonologi dalam bidang konsonan karena pada kata “hati” dalam bahasa Indonesia akan menjadi ati dalam pengucapan bahasa Ponjo-ponjo sebab terjadi penghilangan bunyi [h]. 

Ini merupakan interferensi fonologi dalam bidang konsonan karena setiap pengucapan kata “pasar” dalam bahasa Indonesia akan menjadi pasa dalam pengucapan bahasa Ponjo-ponjo. Demikian juga pada kata sujud terjadi perubahan bunyi menjadi suju.

  

B. Interferensi Morfologis

            Interferensi morfologi terjadi pada unsur pembentuk kata yang meliputi: prefiks, sufiks, dan konfiks. Hal ini terlihat pada data berikut ini.

            Menonton        ------    ma        +    tonton                   = manontong

            Membaca         ------     ma       +    baca                       =  mabaca

            Berdansa         ------   ma-       +     dansa                    = ma’dansa

            Kurungan        ------   ak-eng      +     kurung              =  akkurungeng

C. Interferensi Sintaksis

            Interferensi bahasa Daerah dalam bahasa Indonesia terjadi pula dalam bidang sintaksis yakni pada tataran frasa dan klausa. Interferensi pada tataran frasa terlihat dalam peristiwa tutur yang berikut ini.

a.  + Indah :  Lihat mata Baya?

     - Beby : Matanna Baya sipit seperti habis menangis. “Matannya Baya sipit seperti habis menangis”.

b.  + Siswa :  Jangan lupa membersihkan televisina bapak di kantor. “Televisinya bapak di kantor”.

      -  Guru :  Ayo, semangat yah.

c. + Siswa : buk,  mejana ibu guru bagus. “buk,  mejanya ibu guru bagus”.

      - Guru : terima kasih nak.

Dari data frasa di atas merupakan struktur kepemilikan atau posesif. Dalam bahasa Ponjo-ponjo, makna “kepemilikan” memang lazim dinyatakan dengan manambahkan –na, yang dalam bahasa Indonesia dapat dipadankan dengan –nya. Dalam bahasa Indonesia frasa kepemilikan seperti itu tidak dinyatakan dengan -nya, tetapi cukup dengan menggabungkan unsur termilik dan unsur pemiliknya.

Penyebab Terjadinya Interferensi

        Terjadinya interferensi bahasa Ponjo-ponjo ini ke dalam bahasa Indonesia yang terjadi dalam komunikasi sehari-hari yang dilakukan oleh siswa dan guru di SDN  116 Patampanua Kebupaten Pinrang. Keadaan ini memperlihatkan bahwa interferensi terjadi bukan karena disengaja oleh siswa dengan maksud untuk mempermudah penyampaian buah pikirannya, tetapi terjadi karena penguasaan sistem bahasa pertama (bahasa Ponjo-ponjo) mereka yang lebih tinggi dari kemampuan mereka bertutur dengan bahasa Indonesia. Penguasaan bahasa pertama yang lebih tinggi menyebabkan mereka terbiasa berbicara dengan bahasa tersebut, dan hal ini agaknya menjadi sebab mengapa bahasa ini banyak terbawa ke dalam kata bahasa Indonesia saat mereka berkomunikasi pada saat proses belajar mengajar.

        Interferensi bahasa Bugis yang terjadi dalam proses belajar mengajar terjadi pula karena kebiasaan mereka menggunakan bahasa tersebut dalam lingkungan mereka sehari-hari, sehingga kebiasaan tersebut tetap mereka bawa pada saat mereka seharusnya bertutur dengan bahasa Indonesia yang bukan merupakan bahasa keseharian mereka. Oleh karena itu, kemampuan mereka untuk menggunakan bahasa Indonesia sulit berkembang dan hal tersebut menyebabkan mereka merasa malu menggunakan bahasa Indonesia, sehingga berakibat keinginan mereka menggunakan bahasa Indonesia rendah. Hal lain adalah sangat kurangnya mereka menggunakan media massa seperti koran, majalah yang mereka baca, untuk meningkatkan kemampuan mereka berbahasa Indonesia, hal ini terjadi karena guru kurang tegas atau kontrol dalam pemakaian bahasa Indonesia.

        Akumulasi dari hal-hal tersebut di atas akan membuat kemampuan siswa menggunakan bahasa Indonesia tidak berkembang dengan baik, karena mereka selalu menggunakan bahasa daerah dalam berkomunikasi baik di rumah maupun di sekolah. Oleh karena itu, wajar bila dalam komunikasi siswa kepada guru pada saat proses belajar mengajar gaya dan kemampuan mereka bertutur masih sangat dipengaruhi oleh bahasa daerahnya. Akibatnya pada setiap mereka berkomunikasi ungkapan-ungkapan dan tata bahasa serta tuturan yang bernuansa akan selalu terbawa. Kemampuan mereka berbahasa Indonesia menjadi rendah yang pada akhirnya mereka akan tetap tertinggal dari mereka yang menguasai bahasa dengan baik dan benar dalam segala hal.

        Berdasarkan pengamatan penulis selama penelitian, masih banyaknya penggunaan kata atau kalimat yang terinterferensi oleh bahasa daerah membuktikkan bahwa penggunaan bahasanya masih dominan dipakai di lingkungan siswa Keadaan ini terjadi karena penggunaan bahasanya yang sudah terbiasa digunakan oleh siswa dalam lingkungan sehari-hari akan tetap mereka bawa pada saat mereka seharusnya bertutur bahasa Indonesia yang bukan merupakan bahasa keseharian mereka. Oleh karena itu, kemampuan mereka menggunakan bahasa mereka masih rendah dan sulit untuk berkembang dengan baik.

        Selain itu, masih rendahnya interaksi antara guru dan siswa yang menggunakan media bahasa Indonesia, sehingga mereka akan tetap menggunakan bahasa daerah saat mereka seharusnya bertutur dengan bahasa Indonesia. Hal ini terjadi karena guru kurang disiplin dalam mengontrol pemakaian bahasa Indonesia. Penyebab terjadinya interferensi bahasa daerah dalam proses belajar mengajar yang dilakukan di sekolah antara lain adanya kalimat yang terinterferensi oleh kata-kata dan struktur kata bahasa Daerah dalam komunikasi yang dilakukan oleh siswa membuktikan bahwa betapa masih dominannya pemakaian bahasa tersebut dalam komunikasi sehari-hari.

        Kalau dilihat dari peluang penggunaan bahasa, bahasa yang lebih besar peluang penggunaannya akan besar pula peluangnya untuk terinterferensi kebahasa yang lebih kecil peluang penggunaannya. Bahasa Daerah lebih berpeluang digunakan dari pada bahasa Indonesia dan lebih terbiasa atau fasih menggunakannya dalam komunikasi sehari-hari. Dan hal ini sepertinya menjadi penyebab mengapa bahasa Daerah terbawa kedalam komunikasi yang dilakukan siswa.

        Di samping itu, berdasarkan jawaban siswa yang diperoleh pada saat melakukan wawancara, interferensi yang terjadi pada saat proses belajar mengajar dikarenakan adanya unsur tidak sengaja yang mereka lakukan, dan tidak mengetahui kosa kata atau struktur kata bahasa Indonesia sehingga mereka menggantikannya dengan kata atau struktur kata bahasa Daerah, yang merupakan salah satu dampak dari kurangnya penguasaan bahasa Indonesia dan penguasaan bahasa Daerah yang lebih mereka kuasai.

        Berdasarkan hal-hal tersebut dapat dikatakan bahwa interferensi bahasa Daerah yang terjadi pada proses belajar mengajar terjadi karena siswa lebih menguasai bahasa Daerahnya dari pada bahasa Indoneisa. Hal ini peneliti lihat dari penggunaan kosa kata bahasa tersebut dalam percakapan, serta adanya ketidak sengajaan siswa dan unsur kebiasaan siswa dalam berbahasa.

PENUTUP

SIMPULAN

         Berdasarkan pada uraian-uraian yang telah disampaikan pada bab-bab sebelumnya, penyebab terjadinya interferensi bahasa Daerah (Ponjo-ponjo) dalam proses belajar mengajar berasal dari guru dan siswa. Penyebab yang berasal dari siswa karena kebiasaan mereka menggunakan bahasa Daerah baik di rumah maupun di sekolah. Rendahnya kemampuan berbahasa Indonesia, adanya ejekan dari teman-teman mereka menggunakan bahasa Indonesia, sehingga mereka malu menggunakan bahasa Indonesia. Selain itu, kurangnya keinginan mereka untuk menggunakan bahasa Indonesia. Penyebab yang berasal dari guru adalah kurangnya kontrol dari guru dan karena guru lebih menekankan pada target pencapaian kurikulum dari pada penekanan kaidah bahasa Indonesia yang baik.

DAFTAR RUJUKAN

Abdulhayi. 1985. Interferensi Gramatikal Bahasa Indonesia dalam Bahasa Jawa. Jakarta: New aqua Perss.

Chaer, A. 2004. Sosiolinguistik. Jakarta: Rineka cipta

Hakim, Z. 1999. Tipe Semantik Bahasa Makassar. Jakarta: Depdikbud.

Tarigan, DJ. 1997. Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia di Kelas Rendah. Jakarta: Depdikbud. Universitas Terbuka.

Tarigan, H.G. 1990. Pengajaran Analisis Kesalahan Berbahasa. Bandung: Angkasa Bandung.

Tidak ada komentar:

Stay Connected

Translate Lenguage